Untitled: Chapter 4
>> Sunday, January 21, 2018
Baca: Untitled Chapter 3
4
“LEA.
ISTIRAHAT, oke?” Junan membujuk, masih mengusap pundak Lea.
“Aku
ke sini karena patah hati,” Lea mengabaikan. “Rio ternyata cinta sama Tina.
Sa-ha-bat-ku.” Ia terkekeh hambar. “Dan jahatnya, dia bilang sama aku dua hari
sebelum keluarganya ketemu keluargaku untuk ngomongin pertunangan. Aku—Aku
hancur...”
Junan
mengembuskan napas tajam. Ekspresinya prihatin.
“Aku...
cinta banget sama dia.” Air mata Lea terus meluncur tanpa henti dari kedua
mata. “Banyak rencana yang kami buat. Aku mau nikah sama dia; mau punya anak sama
dia. Tapi ternyata... dia malah nyakitin aku. Dan rasanya... sakit sekali.
Sakit sekali.”
Lea
sesenggukan. Terisak. Seperti tangis anak kecil. Dan Junan tak kuasa. Rasa
ibanya memuncak, dan ingin sekali meringankan kesedihan Lea. Spontan meraih
kedua pundaknya, dan menariknya merapat ke tubuhnya. Memeluknya erat. Amat
erat.
Lea
balas memeluk Junan. Mengalungkan kedua tangan di sekeliling lehernya, masih
terisak, bahkan semakin keras. Memecah kesunyian.
Junan
memejamkan mata; mengeratkan pelukannya, hingga ia dapat merasakan degup
jantung Lea di dadanya. Ia ingin turut merasakan kesedihannya; ingin ia membagi
rasa sakitnya dengannya, kalau itu dapat sedikit menghilangkan rasa sedihnya. Tidak
tahu kenapa; apa alasannya, mendadak saja ia seakan tahu apa yang membuat
hidupnya selama ini serasa kosong. Ia merasa dibutuhkan. Untuk pertama kalinya.
Salju
sudah menumpuk di tepi luar jendela, saat Lea akhirnya membuka mata keesokan
hari. Semuanya seolah berwarna putih dan pucat. Namun semacam putih pucat yang menyenangkan
untuk dilihat.
Waktu
ia mengangkat kepala, pusing melanda. Bertanya-tanya kemudian, berapa banyak
alkohol yang masuk ke kerongkongannya semalam hingga menyebabkan denyut tak
nyaman di setiap inci kepalanya. Jujur, ia tak ingat apa pun. Memori terakhirnya
adalah ia berbincang dengan Juna di depan meja bar, membicarakan bucket
list-nya.
Mendadak,
matanya membulat. Cepat-cepat menyibak selimut yang menutupi badannya untuk
melihat ke baliknya. Lega, begitu mengetahui pakaian masih menempel di badannya.
Termasuk juga lega, karena Juna benar-benar laki-laki yang bisa ia percaya. Tidak
memanfaatkan situasi.
Tapi
dimana dia sekarang?
“Good morning.”
Lea
terlonjak sedikit, dan langsung menoleh ke arah pintu darimana suara sapa itu
berasal. Juna masuk, dengan nampan di tangan. Mengenakan sweat shirt marun dan
celana jins denim robek-robek. Lea segera mengangkat punggungnya untuk duduk di
kasur dan buru-buru merapikan rambutnya; entah kenapa.
“Breakfast in bed.” Juna menyeringai pada
Lea.
Ia
meletakkan nampan kayu di atas kasur dengan hati-hati, dan duduk berhadapan
dengan Lea dengan kaki disilangkan.
Lea
menjulurkan leher untuk melihat isi di atas nampan tersebut; dua piring yang
sepertinya berisi roti gulung coklat—tampilannya manis sekali dengan taburan
gula bubuk dan beberapa irisan cherry dan strawberry di atasnya; satu gelas jus
jeruk, satu cangkir kopi susu, dan semangkuk kecil anggur hijau. Satu lagi,
adalah piring kecil berisi aspirin. Itu adalah yang pertama diambil oleh Lea.
“Kepalaku
sakit sekali,” katanya, setelah ia menelah pil tersebut dengan jus jeruk. “Thanks.”
“You’re welcome.”
Juna
mengambil cangkir berisi kopi susu. Menyeruputnya pelan, seraya memandang salju
yang berjatuhan di luar jendela. “Beautiful,”
komentarnya.
“Ini
apa?” Lea menunjuk piring berisi roti gulung.
“French toast rolls up. Atau roti gulung,
kalau ribet nyebutnya.”
Lea
mengernyit. “Kamu bikin sendiri?”
“Nggak.
Ada pelayan yang buat—ya jelas aku lah. Memang ada siapa lagi di sini?”
“Kamu
nggak kelihatan seperti cowok yang bisa masak.” Lea mengambil piring berisi dua
roti gulung. “Apa ini aman buat dimakan?”
Mata
Juna menyipit berbahaya, dan Lea langsung mendengus geli. Diirisnya satu roti
gulung tersebut, dan memasukkannya ke mulut. Tak lama ia membeliak; ekspresinya
takjub.
“Enak.”
“Aku
tahu.” Juna meletakkan cangkir kopi di nampan.
“Sombong.”
Juna
terkekeh, dan Lea melanjutkan menyantap French toast-nya.
“Apa
kamu... suka masak?” tanya Lea, dengan mulut penuh.
“Bisa
dibilang gitu.” Juna menusuk irisan stroberi di piring roti gulung satu lagi,
dan membawanya ke mulut. Ia tak mengunyahnya, melainkan menelannya langsung.
“Ini
enak banget,” cetus Lea, tanpa memandang Juna. Kembali memasukkan potongan
besar irisan roti gulung.
“Makan
saja semua. Kalau kurang di dapur masih ada.”
“Tahu
begitu, kenapa nggak dari kemarin kamu buat sarapan?”
Juna
tertawa. “Aku lebih suka kamu yang masak. Rasanya campur-aduk. Aku belum pernah
makan makanan seperti itu.”
Lea
mengembuskan napas tajam dan memutar mata. “Aku memang nggak bisa masak. Aku
cuma merasa itu kewajibanku untuk... nyiapin makanan.”
“Masakan
kamu enak kok,” balas Juna, tersenyum menenangkan. “Kalau nggak, aku nggak
bakal makan. Lidahku sensi.”
Sejenak,
keduanya saling pandang. Lea, dengan pandangan yang diiringi kerutan di dahi,
sedangkan Juna dengan pandangan yang ditemani cengiran jenaka. Lea memutus
kontak lebih dulu, diiringi dengus geli dan gelengan kecil.
“Udah
lebih dari seminggu.”
Lea
mendelik penuh tanya pada Juna yang sekali lagi memandang keluar jendela kamar.
Ia meletakkan garpu di piring, dan mengambil gelas jusnya. “Apanya yang ‘lebih
dari seminggu’?”
Ia
meneguk jus, dan menunggu Juna merespon dengan turut memandang ke arah salju
yang berjatuhan di balik jendela. Setelah itu kembali mencomot roti gulung lagi
dan mengunyahnya pelan.
“Aku
sudah di sini lebih dari seminggu.” Juna menatap Lea, dengan senyum simpul yang
sedikit muram. “Ninggalin banyak hal di
Jakarta.”
Lea
menelan roti di mulutnya buru-buru sampai-sampai kerongkongannya panas. “Kalau
kamu mau curhat, mendingan stop. Aku nggak mau dengar.”
“Kenapa?”
“Lebih
baik kaya gitu. It’s better we don’t know
about each other, so...” Lea meraih kembali gelas jusnya, “kita nggak perlu
baper tentang sesuatu yang nggak seharusnya.”
Ia
mengucapkan semua kalimat tersebut dalam suara kumur-kumur yang ditutup dengan
jus jeruk yang diteguknya banyak-banyak, sementara Junan memandanginya
kernyitan bingung yang kentara.
“But,” Junan mendengus, “kamu curhat sama
aku semalam.”
Mata
Lea membundar. “Curhat apa? Aku nggak ngerasa.”
“Soal
cowok kamu itu; Dario—”
Lea
dengan panik langsung berusaha membekap mulut Juna dengan tangan. Membuat Juna
yang tidak menduga respon hebohnya, ambruk ke belakang. Nampan berisi seluruh
perabot dan makanan berantakan di atas kasur dan sebagian lagi terguling ke
lantai. Cairan kopi dan jus jeruk menodai sprai dan berceceran kemana-mana.
“My—God,” gumam Juna dengan tampang tak
percaya. Ia menelentang pasrah dengan kedua tangan membuka di permukaan kasur
dengan kepala Lea berada persis di atas perutnya.
Lea
yang menyadari betapa ganjil posisinya sekarang, cepat-cepat mendorong naik
badannya. Tapi karena rasa malu dan grogi, tak sengaja ia menekan lututnya di
betis Juna, membuat laki-laki itu langsung mengeluarkan suara jeritan persis
cewek dan reflek menaikkan punggung dan menekuk kakinya, menyebabkan Lea hilang
keseimbangan, terguling ke samping dan... dahinya terbentur dinding lumayan
keras. Setelah itu bergeming.
Ganti
Juna yang panik. Buru-buru menggeser badan mendekat, merengkuh bahu Lea dan
membalik badannya menelentang seraya menanyakan apa Lea tidak apa-apa.
“Lea?”
Juna memanggilnya lagi, karena Lea tidak menjawab sama sekali, melainkan diam
dengan ekspresi muram seolah menahan tangis. Dahinya yang terbentur merona
merah. “Sori, oke? Aku nggak sengaja.”
“Aku
cerita apa aja?” tanya Lea dengan nada cemas sekaligus bimbang.
Juna
tak menjawab. Bertukar pandang dengan Lea di sebelahnya selama beberapa saat,
sampai akhirnya berguling ke sisi. Berbaring di sebelah Lea, dan mengempaskan
napas tajam.
Sambil
membersihkan sisa-sisa kekacauan di atas kasur yang terjadi sebelumnya, Junan
memberitahu Lea, apa saja yang Lea ceritakan padanya dalam keadaan mabuk
semalam. Kebanyakan soal Dario, pacar Lea yang ternyata mencintai sahabat Lea,
Tina, sebelum Dario bertemu dengannya; bagaimana Lea ingin menjadi istri Dario
dan punya banyak anak dengannya; serta rasa bersalah Lea pada orang tuanya yang
harus menanggung malu dikarenakan keputusannya membatalkan rencana pertunangan
secara sepihak. Terutama pada mamanya, yang amat senang dan sudah
menunggu-nunggu pertunangannya itu.
Untuk
yang terakhir itu, Junan mendukung Lea dengan mengatakan kalau tindakan Lea
sudah benar dengan memutuskan hubungan dengan Dario, karena tidak ada yang bisa
menjamin apakah Dario akan tetap loyal pada Lea mengingat perasaannya pada Tina
yang ia pendam sejak lama.
“Orang
tua kamu pasti ngerti. Nggak ada orang tua yang mau anaknya menderita apa pun
alasannya. Apalagi mama kamu,” tambah Junan, melipat sprai bernoda kopi, jus
jeruk dan remah roti. “Mom is mom after
all.”
“I know,” timpal Lea lemah. Duduk bersila
di atas lantai dengan punggung bersandar di tepi ranjang dengan nampan berisi
perabot di sebelahnya. “Tapi...” Ia tersenyum muram. “Entahlah. Aku nggak tahu
apa...mamaku bisa mengerti. Apalagi aku langsung ‘hilang’ setelahnya.”
“Tapi
kamu kasih tahu papa mama kamu kan begitu kamu sampai sini? Setidaknya, mereka
tahu kan kalau kamu di sini?”
Lea
menggeleng. “Aku matikan ponselku sejak boarding pesawat. Aku nggak update apa
pun jadinya. Terlalu takut untuk tahu reaksi orang; terutama dari mamaku.”
Junan
menjepit seprai yang telah ia lipat rapi di perutnya menggunakan tangan.
Ekpresinya pada Lea tak terjelaskan; antara bingung atau takjub. Selama
beberapa waktu, ia cuma berdiri bengong memandang Lea yang duduk di hadapannya
dengan kepala tertunduk sedih.
“Kenapa?”
Lea mendongak ke arahnya. Mendengus tersenyum melihat ekspresinya. “Aku...
lebay, ya?”
“You know what? Aku juga nggak lihat
ponselku sama sekali sejak aku di sini—di rumah ini maksudnya.”
“Really?”
Junan
mengangguk. “Ya. Tapi... komplikasi beberapa hal sebenarnya; karena ponsel mau lobat
dan aku malas nge-charge—plus,” ia mendengus, “aku mau shut down dunia luar
sebentar. But,” ia buru-buru menambahkan,
saat Lea tersenyum muram padanya, “kayanya sekarang waktunya aku nyalakan
ponselku lagi. Kamu juga.”
Lea
mengedikkan bahu. Menggeleng lemah. “I
don’t know.”
“Jangan
jadi pengecut, Nona Lea,” tandas Junan. “Kamu udah minum bir semalam.
Pergunakan sisa hang-over kamu untuk aktifkan ponsel.”
“Nggak
sesimpel itu, Juna.”
Junan
mengangkat sprai di tangannya lebih tinggi dan melangkah menuju pintu kamar.
“Gampang,” timpalnya. “Tinggal ambil ponsel kamu—dimana pun kamu simpan, lalu
tekan tombol ‘on’.”—Ia tak menghiraukan delikan putus asa Lea—“Aku mau masukin
sprai ke mesin cuci, kamu bawa perabot ke dapur. Setelah itu kita lihat ponsel
kita bareng.”
Ia
menyeringai, setelah itu keluar dari kamar.
“Jadi...”
Junan menyodorkan ponselnya pada Lea, setelah ia menerima ponsel milik Lea
(diiringi tampang tak rela) di tangannya, “kita bersamaan nyalakan ponsel; kita
saling kasih tahu notifikasi apa aja yang ada; dan pesan atau email apa saja
yang kita terima, dan siapa yang kirim—”
“Wait.” Lea menaikkan kedua tangan di
depan Junan yang bersila di hadapannya. “Apa aku harus baca isi pesan atau
email yang kamu terima?”
Jawaban
Junan diwakili dengan anggukan mantap.
“Berarti
kamu juga bakal baca semua pesan yang ada di ponselku?”
“Apa
ada chat atau foto ‘aneh’ di sini?”
Junan menggoyang-goyangkan ponsel Lea sambil tersenyum jail. “Kalau ya, pasti
menarik.”
“Jangan
ngaco,” sergah Lea. “Aku cuma” ia menelan ludah, “nggak nyaman pesan-pesanku
dibaca orang.”
“Oke.
Kalau gitu, aku akan kasih tahu dulu siapa yang kirim pesan atau email ke kamu.
Dan kamu bisa tentuin, yang mana yang bisa aku bacain buat kamu. How ‘bout that?”
Lea
menimbang-nimbang sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Oke. Kalau gitu, aku
juga kasih tahu kamu dulu siapa yang kirim pesan ke kamu.”
“Deal.”
“Deal.”
“Kalau
gitu,” Junan menggengam ponsel Lea erat, “kita nyalain sekarang.”
Lea
membalas dengan anggukan. Bersamaan dengan Junan menekan tombol ‘on’ di iPhone
milik Junan. Ponsel tersebut langsung menyala, dan langsung menampilkan layar
utama. Junan sepertinya bukan orang yang
private, pikir Lea. Ia tak menggunakan password apa pun untuk memproteksi
telpon genggamnya.
“Kenapa
ponsel kamu nggak nyala-nyala?”
Lea
reflek mengangkat wajah, dan melihat Junan berupaya keras menekan tombol power
Samsungnya yang bergeming tanpa kehidupan. Ia mencoba mengingat-ingat, dan
tersadar kalau ponselnya itu benar-benar sudah nol baterainya sewaktu ia
boarding, dan tak pernah sama sekali ia charge.
“Sepertinya
harus di charge.” Lea meringis. “Benar-benar lobat.”
“Hm.
Mana chargernya?”
“Di
laci meja di kamar.”
Tanpa
berkata apa pun Junan langsung bangkit, dan berjalan menuju kamar tempat Lea
tidur. Tepat saat itu denting halus terdengar dari iPhone di tangan Lea.
“Ada
pesan dari... Brie?!” Setengah berteriak Lea memberitahu Junan yang masih
berada di kamar.
“Abaikan saja!”
Lea
mengerucutkan bibir. “Dari Arien?!”
“Pass!”
Alis
Lea berjingkat, dan bibirnya menggumamkan ‘oke’ tanpa suara. Sementara itu
terdengar suara laci ditutup di dalam kamar, disusul oleh suara langkah
mendekat; Junan sudah menemukan charger Lea.
“Yu?!”
“Apa
katanya?” Junan keluar dari kamar dengan satu tangan menggenggam charger ponsel
Lea.
Lea
menekan pop up bar bertulisan nama ‘Yu’ di bawah nama Brie dan Arien untuk
membaca pesan yang dikirimkannya pada Junan. Wajahnya mendadak berkerenyit;
tampak bingung.
“Kenapa?”
Junan menelengkan kepala.
Wajah
Lea perlahan terangkat. “Restoran... Kebakar—”
Belum
sempat Lea menyelesaikan kalimatnya, Junan menyambar ponsel dari tangannya. Lea
yang sempat terlonjak karena kaget, memandang Junan berjalan menjauh dengan
ponselnya.
Ini
pertama kalinya Lea melihat raut muka Junan begitu serius dan cemas. Seolah saja
ia bukan laki-laki yang seminggu ini menemaninya di sini; yang kelihatan begitu
santai dan lepas. Tak lama ia mendengarnya bicara; ditolehnya sedikit, dan
melihat Junan berjalan ke ruang depan sambil bicara dengan seseorang
menggunakan ponselnya.
Dan
itu adalah akhir pembicaraan mereka di hari itu, karena setelah selesai
menelpon Junan masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan tidak keluar sama sekali
hingga lewat jam makan malam.
Lea
sedang membaca buku di atas karpet depan perapian, ketika akhirnya pintu kamar
Junan membuka, dan suara sandal yang diseret terdengar. Lea memutar kepalanya
ke belakang sekilas, dan melihat Junan berjalan mendekat.
Kaki
Junan berhenti di tepian karpet. Ia mengenakan kaca mata ‘rampasan’ dari Lea,
dan kedua tangannya di saku celana trening abu-abunya. Mukanya yang biasanya ceria,
agak lesu. Meskipun begitu ia menyunggingkan senyum kendati lemah.
“Aku
pulang ke Jakarta besok.”
Lea
yang baru saja ingin menanyakan ‘ada apa’ pada Junan, langsung mengatupkan
bibir. Napasnya, tidak tahu kenapa tiba-tiba saja sesak. Kepalanya seakan saja
dijatuhi oleh sesuatu yang berat namun tak berwujud. Bertanya-tanya kenapa,
tapi sebenarnya ia tahu jawabannya. Namun, tentu saja ia menyangkalnya.
“A-ada
apa?” Lea berusaha sekali terdengar biasa saja, meskipun badannya gemetaran. “Re—restoran
siapa kebakaran?”
“Restoran...
teman—so, aku harus balik. To support.”
Lea
mengangguk-anggukan kepala. Teman yang
penting pastinya, ia membatin. Juna, pastinya punya pacar di sana. “Oke,”
timpalnya pendek.
Setelah
itu hening dan bisa dibilang canggung. Di tengah-tengah keduanya yang berjarak
hanya beberapa langkah, seakan saja ada tembok transparan yang membuat semuanya
semakin jauh dan kabur. Lea, berupaya sekali untuk mengendalikan diri. Karena
jujur ia tidak tahu, kenapa ia ingin menangis sekarang.
“Kenapa
kita nggak pulang bareng?” suara Junan seolah menggelegar.
“Ha?” balas Lea bingung. Ia tidak
mendengar pertanyaan Junan barusan, karena kepalanya terlalu penuh.
Junan
mendengus tersenyum, kemudian melepaskan kedua sandal kamarnya sebelum menjejakkan
kakinya di atas karpet. Kira-kira 20 senti di depan Lea, ia tak lagi bergerak. Lea
mendongak memandangnya, dan sebaliknya Junan memandang Lea yang wajahnya
terlihat muram diterangi pencahayaan api perapian yang temaram.
“Kenapa
kamu nggak pulang ke Jakarta bareng aku besok?” tanyanya lagi.
Lea
menundukkan wajah perlahan. “Aku belum... mau pulang.”
Junan
merendahkan badan dan berjongkok di depannya. “Kamu akan sendirian di sini. Dan
aku... worry; jujur aja.”
Mata
Lea kembali bertrubrukan dengan mata Junan yang hitam. “I’ll be fine,” senyumnya lembut. “Just, balikin kacamataku. I
need that.”
Tangan
Lea terangkat untuk menggapai kacamatanya yang bertengger di hidung Junan. Tapi
Junan segera menghindar dengan menjatuhkan pantatnya di atas karpet bulu,
sehingga Lea gagal menjangkaunya.
“Juna,”
tegur Lea dengan nada putus asa.
“Aku
akan balikin nanti.”
“Nanti
kapan? Besok kamu udah berangkat; nanti malah lupa.”
“Pokoknya
aku akan balikin. Aku janji.”
“Kapan?”
Junan
memeluk kedua lututnya yang menyilang, sambil nyengir pada Lea. “Kalau aku mau
balikin.”
Lea
mengempaskan napas tajam. Menggeleng jengkel sambil menancapkan tatapan sebal
pada Junan. “Ya sudah. Buat kamu aja.”
Ia
kembali membuka buku novelnya lagi, menyandarkan punggungnya ke kaki sofa, dan
kembali membaca. Meskipun yang ia lakukan hanya memelototi barisan huruf yang
tak bisa ia eja sama sekali.
“No.” Tiba-tiba, Junan menyambar buku ‘Eat,
Pray, Love’ yang Lea pegang, dan—tidak menghiraukan protes Lea—meletakkan kepalanya
di pangkuan Lea. “Aku pasti balikin.”
Ia
membuka halaman pertama buku ‘Eat, Pray, Love’ dan mulai membacanya.
“Juna.
What are you doing?” tanya Lea, lebih
putus asa lagi.
“Reading.”
“Maksudku,
kenapa kepala kamu ada di pahaku? Get
off.”
“Apa
kita bisa ketemu lagi nanti di Jakata, Lea?” tanya Junan, mengabaikan
permintaan Lea.
Lea
mengembuskan napas pelan. Ingin menjawab ‘ya’, tapi dia merasa itu bukan
jawaban yang seharusnya ia ucapkan dengan mudah pada Junan. Keraguan dan
kekhawatiran akan tersakiti merayap memenuhi otaknya. Bagaimana kalau ia jatuh
cinta pada Junan, dan sama dalamnya seperti perasaannya pada Dario? Bagaimana
kalau ternyata Junan, seperti dugaannya sudah memiliki kekasih di Jakarta?
Memupuskan harapannya akan cinta, dan memperbesar rasa sakitnya juga karena
cinta. Tidak. Ia tidak mau itu terjadi lagi.
Ia,
belum siap.
“Lebih
baik nggak usah.” Lea menolehkan wajah ke arah api yang berderak-derak di atas
kayu-kayu yang membara di perapian. “Kamu juga mikir yang sama kan?”
Untuk
beberapa saat, Junan diam. Kemudian dengan suara pelan ia menjawab, “Ya. Lebih
baik nggak usah.”
(Bersambung)
2 comments:
Akhirnya setelah sekian lama... mbak, lanjutannya jangan lama lama ya =))
cakap.. senang membacanya
Post a Comment