The Adorables (6): Chef
>> Saturday, June 6, 2015
Baca: The Adorables (5)
Chef
JUNA muncul ketika Lea akhirnya
memutuskan untuk menyantap makan siangnya—sendirian, di ruang tengah Black
House. Tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa serta sepiring besar Unagi[1],
dan mengatakan kalau Lea harus mencobanya mengingat ia yang membuatnya, dengan
bumbu racikannya sendiri.
Baunya enak, dan rasanya pasti
enak. Tapi karena perasaan Lea yang sedang gundah, seleranya terhadap makanan
serasa menguap. Bahkan pada makanan yang dibuat oleh Chef idolanya sekali pun.
Dia benar-benar kuyu. Tak bersemangat.
“Are you ok?” Juna menanyainya, setelah sebelumnya menyuapkan satu
unagi ke dalam mulutnya dan mengunyahnya santai. Menyeret kursi di sebelah Lea,
dan duduk menyamping menghadapnya. Aroma masakan yang menempel di Chef Jaketnya
begitu menyengat, membuat hidung Lea seketika merespon. Harum jeruk yang tadi
pagi melekat di badannya menguap sudah.
“Yang lain mana?” Mata Juna menyapu seluruh
ruangan seakan berharap seseorang akan muncul mendadak dari satu sudut. “Kenapa
kamu nggak sama…” Dia kedengaran ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Saya disuruh pergi.” Lea menuangkan
lagi nasi bercampur potongan bebek rica dari sendok yang sedari tadi
dipegangnya erat. “Si Shinji itu…, dia bilang sama Dai kalau dia nggak mau saya
untuk jadi Yuujinnya. Mereka ribut, dan Malini minta aku pergi.”
Tak ada suara. Juna meneguk air
putih dari gelas yang ia ambil dari meja di depannya. Sepertinya ia tidak tahu
harus bicara apa mendengar cerita Lea. Atau, memutuskan untuk tak berkomentar,
mengingat yang dibicarakan Lea adalah Sang Pewaris Kuroi; pemilik dari Black
House, dan juga beberapa perusahaan besar seperti yang diceritakan Mina dan
Raenan tadi pagi.
Tapi, mau pewaris atau bukan,
untuk Juna sepertinya bukan hal penting. Lea tahu betul kalau ia bukan tipe
orang yang meletakkan rasa hormatnya pada status atau jabatan seseorang.
“Aku cuma bisa bilang kalau
Shinji memang menyebalkan,” ia akhirnya bicara. Menaruh gelas kembali di meja.
“Sering buat ulah yang aneh-aneh… Tapi,” ia mendengus geli, “ada alasan kenapa
dia begitu.”
Lea meletakkan sendok.
Benar-benar tidak menyentuh makanannya sama sekali. Memandang Juna yang
sekarang tersenyum simpul.
“Aku nggak perlu bilang
alasannya,” kata Juna lagi melihat tampang Lea yang kentara sekali ingin tahu.
“Kamu nanti juga tahu sendiri. Kalau kamu peka, kamu pasti mengerti.”
Bahu Lea terangkat sejenak,
punggungnya diempaskannya ke belakang. “Ya. Kalau ada ‘nanti’.”
“Nggak perlu cemas. Kalau Dai
sudah memutuskan, nggak akan ada yang bisa merubah. Lagipula Shinji sudah
banyak melakukan hal-hal tolol yang membuatnya tak lagi bisa memutuskan sesuatu
untuk dirinya sendiri. Jadi mau nggak mau, dia harus menuruti Dai.”
“Dia sepertinya… meragukan saya,”
timpal Lea. “Dia bilang pada Dai kalau dia benar-benar tidak ingin saya jadi
Yuujin-nya.”
Lea teringat beberapa waktu
sebelumnya, ketika ia masih berada di Dojo bersama Shinji dan yang lain. Ketika
Shinji menyipit meremehkan menatapnya, kemudian berkata pada Dai, kalau Lea tak
pantas jadi Yuujin-nya. Di depan mukanya; tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
“Dai tidak mungkin sembarangan
memilih Yuujin untuk Shinji,” kata Juna. “Yuujin sebelumnya langsung dipilih
oleh seseorang dari Kuroi, dan tak ada yang bertahan. Jadi, kamu adalah pilihan
pertama Dai. Dan dia, nggak akan mungkin main-main. Pasti dia melihat sesuatu
dari kamu, Lea, yang dianggapnya cocok untuk pekerjaan itu.”
Lea diam. Memandang Juna,
sambil mencerna semua kalimatnya barusan. Mengingat-ingat kata-kata Dai tadi
pagi, kalau ia cocok dengan pekerjaan yang akan dilakukannya, karena pribadinya,
karena kualitas emosinya. Benarkah? Cuma itu? Tapi, dia merasa, dia tidak cukup
kuat bila harus menghadapi Shinji—sendirian, sebagai Yuujin. Dengan
keangkuhannya, keras kepalanya, dan lain-lain yang mungkin lebih buruk dari
itu.
“By the way, Lea,” Juna menariknya dari lamunan, “you have to eat.”
“Saya nggak selera.”
“Aku yang buat semua menu di
rumah ini.” Nada suara Juna mendadak serius. “Kalau kamu nggak makan, itu
penghinaan besar buatku.”
Lea membatu. Menggeleng panik
kemudian. “Sa-saya nggak ada maksud begitu—”
“So? Eat.” Alis Juna berjingkat. Menunggu.
Terpaksa, karena tidak mau Juna
salah paham, Lea meraih kembali sendok dan garpunya. Kembali menyendokkan nasi
dan lauk, lalu membawanya ke mulut. Memakannya pelan. Enak, tapi tidak cukup
mengembalikan semangat. Semuanya raib ketika Shinji berteriak pada Dai, kalau
bagaimana pun ia tidak mau Lea jadi Yuujin-nya dengan alasan yang hanya dia
yang tahu. Jujur saja, itu mengganggunya.
“Good.”
Lea menoleh, dan melihat senyum
tersungging di wajah Juna. Cukup mengalihkan pikirannya dari Shinji.
“Chef…”
“Ya?”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
Juna mengambil satu Unagi lagi,
dan menggigitnya pelan. “Ya. Apa?”
“Kenapa Chef di sini?”
Air muka Juna seketika berubah.
Mulutnya yang sebelumnya bergerak cepat kala mengunyah, melambat. Ia memandang
Lea dengan tatapan yang tidak dimengerti. Jelas tak menduga Lea akan menanyakan
hal itu.
“Kenapa kamu tanya begitu?” Ia
kembali mengambil gelas yang isinya tinggal separo dari meja di depannya.
Meneguknya lagi sampai habis.
“Penasaran saja.” Lea
tersenyum. “Pasti ada alasan kenapa Chef mau kerja di tempat ini, dan
meninggalkan… you know, televisi.”
“Well, it’s a long story actually. Akan butuh banyak waktu kalau aku
cerita.”
Lea tersenyum, mengembalikan
perhatiannya pada makanan di piringnya. Tentu
saja, pikirnya. Juna pun pasti tidak akan mau bercerita apa pun perihal
keterlibatannya dengan Black House. Semua harus dirahasiakan, dan Lea paham.
Tak mau menanyainya lagi.
“Lea?”
“Ya?”
“Nggak usah panggil aku Chef.
Panggil saja aku Juna, sama seperti yang lain. Kedengaran formal sekali kalau
kita ngobrol. It sounds dull.”—Kedengaran
konyol.
Lea menelan makanannya susah
payah. “Kalau itu…, saya nggak bisa.”
“Kenapa? Kamu panggil Dai tanpa
embel-embel di depannya. Kamu panggil Malini, tanpa ada kata ‘Mbak’ atau ‘Ibu’.
Dan usia mereka lebih besar dari kamu. Kenapa sama aku nggak bisa?”
“Mereka beda.” Lea berusaha
keras menahan kikiknya.
“Beda apanya?”
“I’m your big fans. Akan dosa sekali kalau saya panggil Chef dengan
nama saja. I respect you too much—bukan
berarti saya nggak menghormati Dai dan Malini atau yang lainnya. I respect your profession. Saya sangat
mengapreasiasi apa pun yang Chef kerjakan. Saya salut dan… terinspirasi.”
“Hm. Kenapa aku jadi merasa
nggak enak?”
Lea terkekeh. “Maaf. Tapi saya
cuma… nggak bisa. Rumit alasannya.”
“Ya, kayanya sih gitu.”
Lagi, Lea tertawa. “I’m sorry…”
“Oke…, tapi kata ‘saya’ itu
bisa diganti kan? Setiap kamu menyebut ‘saya’, aku merasa sedang bicara sama bawahanku.
Dan kamu bukan bawahanku. Dan kalau dipikir-pikir, aku memang nggak punya
bawahan di sini.”
Tawa Lea berderai. “Oke,”
sanggupnya kemudian. “Aku coba.”
Ia mengerutkan kening setelah
mendengar kata ‘aku’ yang keluar dari mulutnya. Kedengaran aneh sekali.
“Much better,” komentar Juna senang. Tidak mengindahkan tampang
bimbang Lea. “Aku nggak sangka,” Juna melanjutkan, “kamu masih ngefans sama
aku? Meskipun aku udah nggak muncul di publik sejak setahun lalu?” Tanpa berita
apa pun.”
Lea tersenyum tulus, dan
mengangguk. “Kayanya apa pun yang Chef lakukan, mau ada kabar atau nggak, nggak
akan merubah apa-apa. Aku tetap ngefans. Dan bukan cuma aku saja, tapi juga
fans yang lain. Aku yakin, kalau suatu hari Chef kembali lagi—nongol di TV,
mereka masih akan sama hebohnya kaya dulu.”
Juna menyembunyikan dengusnya
dengan merendahkan wajahnya ke dada.
“Apalagi kalau mereka tahu,
Chef ternyata orang yang ramah sekali…, mereka bakal makin cinta.”
Kening Juna mengerut, dan kedua
matanya menyipit. “Aku? Ramah?”
“Iya.” Lea memamerkan gigi
deretan giginya yang rata. “You’re sweet.
You do.”
“Bukannya semua orang bilang
aku galak? Sombong?”
“Mereka nggak tahu gimana Chef
yang sebenarnya, kan? Cuma berdasarkan apa yang dilihat di TV saja. You’re not that bad,”—Juna tertawa
geli—“sebaliknya malah…, you’re nice.
Malah lebih… parah Shinji sepertinya.” Air muka Lea segera saja muram.
Juna mengembuskan napas tajam. “I lose my touch, then. Aku seharusnya
bisa mempertahankan reputasi sebagai Chef galak yang cuma bisa marah-marah
doang.”
Lea terbahak. “No, you don’t have to. Mau galak atau
nggak, you’re still a good Chef.”
Setelah Lea mengatakan itu,
Juna menatapnya. Tatapan hangat yang tak terjelaskan, yang membuat jantung Lea
mendadak saja merespon dengan denyut cepat yang tak beraturan. Ia pun buru-buru
memutus kontak mata, dan berusaha terlihat biasa setelahnya. Kembali menyantap
makanannya. Sedangkan Juna… Sepertinya masih memandangnya.
Lea tak berani menoleh ke
arahnya lagi. Yakin, kalau mukanya yang sekarang terasa terbakar akan kelihatan
merah sekali di mata Juna. Untungnya situasi canggung itu terselamatkan oleh
kedatangan Dai, Kenneth dan Malini, yang memasuki ruang tengah sambil
berbincang serius, langsung menghampiri meja makan, dan menempati kursi-kursi
kosong di sebelah dan depan Lea serta Juna.
Mereka sepertinya kelaparan,
karena langsung mengisi piring masing-masing dengan makanan yang tersedia di
atas meja. Lea celingukan, mencari-cari pelayan yang mungkin saja akan dengan
sigap membantu ketiganya mengambil makanan untuk mereka. Tapi tak ada.
“Selamat makan,” kata Juna
dengan nada menyindir, melihat Malini yang tanpa basa-basi mencomot dua Unagi
sekaligus di piring di depan Juna, dan melahapnya cepat-cepat. “Kelaparan atau
kerasukan?”
“Oh, kamu di sini? Aku nggak
lihat,” balas Malini dengan mulut yang masih kembung oleh makanan. “Selamat
makan, Lea.” Ia tersenyum manis pada Lea yang menimpalinya dengan anggukan
kecil, tidak memedulikan Juna.
“Ok. It’s time for me to go.” Juna bangkit dari kursi. “Have a nice lunch, Guys.”
“Kamu nggak makan?” Dai bertanya,
menelan susah payah air putih yang baru saja diteguknya.
“Nggak bisa. Aku seharian
masak, dan udah kenyang cuma lihat kalian makan sekarang.”
Juna kembali berpamitan dan
pergi. Kursinya segera diisi oleh Malini, yang mengeluh kalau ia tak suka bila
Juna datang dari dapur. “He reeks of
garlic.”—Dia bau bawang putih.
Lea cuma bisa mendengus kikuk.
Memilih untuk tidak menjawab, meskipun setuju dengan Malini.
Kenneth yang duduk persis di
seberang Lea, bersebelahan dengan Dai, memandang Lea ditemani senyum ramah
khasnya. Kemudian menanyai Lea, apa yang ia pilih untuk makan siang, dan Lea
pun menjawab sopan kalau ia memilih bebek rica-rica.
“Nggak pernah coba…
vegetarian?”
“Oh, Ken, please…” Malini
langsung bereaksi. “Jangan mempengaruhinya untuk jadi vegetarian. Dia akan
kerja sama Shinji, dan dia butuh asupan hewani banyak sekali.”
Kenneth tertawa, mengisi
piringnya banyak-banyak dengan semua sayuran hijau yang sepertinya memang
disiapkan khusus untuknya. Sementara Dai memilih untuk berkonsentrasi dengan
makanan di piringnya. Memakannya tanpa menoleh kanan kiri; sedikit pun tak
mengalihkan perhatiannya kemana pun.
“Kamu harus belajar bela diri
juga, Lea,” kata Kenneth lagi, setelah melumat satu selada dengan lahap. “Aku
akan ajari.”
Lea membeliak. “Oh, nggak. Aku…
nggak bisa. Aku… payah banget soal… olahraga.”
“Harus.” Mendadak Dai bicara.
Mengangkat wajahnya untuk memandang Lea. “Nggak perlu expert, setidaknya tahu dasarnya.”
“Tapi… buat apa?”
“Biar kamu sehat, tentu,”
Malini yang menjawab. “Dan juga, biar nggak ada yang berani macam-macam sama
kamu.”
“Tapi… aku cuma… Yuujin…” kata
Lea bernada ragu.
“Karena itu.” Itu saja yang keluar
dari mulut Dai. Kembali sibuk dengan makanannya lagi.
“Kalau Shinji macam-macam sama
kamu, kamu bisa tendang pantatnya,” canda Malini. “Aku bercanda. Jangan
dianggap serius.”
Tapi Lea sudah terlanjur
menganggap serius lelucon Malini. Lagipula, tidak mungkin Dai mengharuskannya
mempelajari dasar bela diri tanpa ada sebab yang pasti. Sesuatu bisa saja
terjadi. Seperti kata Malini, Shinji bisa saja macam-macam padanya. Oh! Apakah dia separah itu? Tapi Dai
sudah mengatakan kalau pekerjaannya jauh dari hal yang membahayakan kan? Jadi…
“Saturday, is fine, then?”
Belum lagi Lea pulih dari
kebingungannya, Kenneth sudah menjadwalkan hari latihannya. Dan setelah sejenak
mendengar ‘uh ah’ tak jelas dari mulut Lea, ia pun akhirnya menyimpulkan kalau
Lea setuju. Dan bodohnya, Lea tidak bisa meralat opini Kenneth sama sekali.
Menerima nasib.
“So… Sebenarnya, apa yang harus aku lakukan untuk Shinji?” tanya Lea
setelah beberapa suapan nasi ke mulutnya berlalu. “Well, aku tahu kalau aku harus mendampinginya,” dia buru-buru
bicara, melihat Dai kembali memandangnya dengan masam. “tapi… bukan berarti
cuma itu saja pekerjaanku kan?”
Kenneth yang satu alisnya
menukik ke atas, menoleh cepat ke arah Dai. Mulutnya masih bergerak mengunyah
makanan di dalamnya. “Kamu belum bilang sama dia?”
Semua memaku tatapan ke arah
Dai, yang sekarang meneguk air putih dari gelas bening, meletakkannya kembali
ke atas meja, dan menyeka bibirnya dengan serbet.
“Kamu hanya mendampinginya.
Yang lainnya, aku yakin kamu bisa pelajari sendiri.”
“Tapi Dai,” Malini angkat
bicara. “dia harus tahu apa saja tugasnya untuk Shinji.”
“Apa saja, kalau begitu?” Dai
meletakkan kedua sikunya di atas meja. Kedua jemari tangan bertaut, dan dia
bertopang dagu.
“Aku nggak begitu mengerti
sebenarnya.” Malini mengedikkan bahu. “Bahkan nggak pernah tahu apa tugas
Yuujin secara detail. Baru kemarin itu aku mewawancarai kandidat Yuujin,” ia
bicara pada Lea. “Yang sebelumnya…, direkrut oleh pihak lain. Menurutku tugas
mereka complicated.”
Oke,
itu nggak membantu sama sekali, renung Lea. Membuatnya makin
khawatir.
“Kalau aku boleh bilang,”
Kenneth bicara, “cekoki dia dengan pengetahuan di luar sana yang nggak pernah
dia tahu. Apapun yang menurut kamu baik untuk dia ketahui.”
“Seperti apa?”
“Apa saja. Yang dapat membuka
pikirannya akan hidup. Yang membuatnya bisa jadi laki-laki yang lebih baik.
Kamu sudah lihat bagaimana Shinji tadi, kamu pasti tahu apa yang harus dirubah
dari dirinya.”
“Kenapa nggak mempekerjakan
guru kepribadian saja?”
Malini, Kenneth, dan Dai
berpandangan sejenak, kemudian tertawa. Sedangkan Lea bingung, kenapa mereka
menertawakan usul yang menurutnya cukup bisa dipertimbangkan.
“Lea…” Dai menatapnya
dalam-dalam, “it’s about trust.
Shinji adalah pewaris keluarga Kuroi yang sah. Bahkan… lebih dari itu. Yuujin,
seperti kataku sebelumnya… adalah pendampingnya. Yang harus ia percaya. Bukan
sekadar guru semata, tapi juga sahabat, saudara, orang yang menurutnya dapat
mengajarkannya sesuatu. Seseorang yang dapat membangkitkan dirinya yang
sebenarnya, yang sampai saat ini belum kami lihat sama sekali.”
“Tapi Dai…, bukankah seharusnya
itu bisa dilakukan orang yang lebih tua? Yang…, lebih punya pengalaman dalam
hidup? Aku… tidak merasa, aku punya pengalaman yang cukup untuk memberitahu
seseorang bagaimana caranya hidup yang benar. Menurutku… sangat konyol.”
“Usia kalian sama. Kamu dua
puluh lima tahun, dia juga. Kamu lahir tanggal 28 April, Shinji juga.”
Lea tampak terguncang
mendengarnya.
“Rasi bintang kalian sama,”
Malini menambahkan. “Taurus. Kalian lahir di hari yang sama. Dinaungi planet
yang sama, asteroid yang sama, sehingga membentuk karakter yang kurang-lebih
sama. Aneh memang, tapi”—ia mengerling Dai—“setidaknya kamu bisa mengimbangi
Shinji. Kalau saja aku bisa tahu jam berapa kamu lahir dan di kota mana,
mungkin aku bisa menganalisanya lebih detail lagi.”
“Bagaimana kamu tahu?” Lea
menatap takjub Malini.
“Dia ahli astrologi,” Kenneth menjawab.
“Salah satu yang terbaik.” Ia melempar senyum simpul ke Malini. “Kami semua
menggantungkan semua peruntungan di tangannya. Dia nggak pernah salah.”
Malini tersipu, menundukkan
wajah ke piringnya dan kembali menyantap makanannya yang tersisa sedikit. Dan
Kenneth, baru mengalihkan pandang dari Malini beberapa detik kemudian, setelah
menyadari kalau Lea memerhatikannya.
“Intinya, aku menginginkan
orang yang bisa tumbuh bersama Shinji. Yang… bisa menumbuhkan sesuatu dalam
dirinya, yang bertahun-tahun kami harapkan.” Dai melanjutkan. “Dan mungkin itu
kamu. Aku nggak tahu. But…, I believe in
you, Lea.”
Tak ada yang Lea ingin katakan
lagi setelah itu, meskipun keraguan masih membayanginya. Dan ia tak yakin benar
kalau ia bisa melakukan tugas seberat itu, karena untuk mengajari dirinya
sendiri pun ia tak mampu. Dan Shinji, bukan anak kecil lagi yang bisa dengan
mudah ia ajak berkomunikasi untuk mendidik. Ia laki-laki dewasa yang pastinya
sudah memiliki pemikiran sendiri tentang banyak hal.
Oh, entah bagaimana jadinya.
Tapi, mengingat kalimat Dai barusan, ia harus percaya pada dirinya sendiri.
Harus.
…
Sampai akhirnya jam pulang
tiba, tidak ada lagi yang Lea lakukan selain duduk-duduk di ruang tengah, di
ruang baca, atau di beranda belakang.
Dai tak menyuruhnya apa pun. Tak
menyuruhnya menemui Shinji atau melakukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan
bekerja.
Setelah makan siang ia langsung
menghilang entah kemana. Kenneth ikut bersamanya, sementara Malini mengurung
diri di ruang kerja, dan tak mengajak Lea sama sekali. Mereka semua sibuk
sepertinya. Dan jelas tak mau diganggu. Ingin mencari Juna ke dapur, atau di
mana pun ia berada, namun Lea khawatir mengganggunya. Jadi terpaksa ia pasrah.
Menjalani harinya dengan kebosanan yang amat sangat sampai datang waktunya ia
harus meninggalkan Black House.
“Kamu pasti bosan sekali hari ini?”
Suara berat itu terdengar, dan
hati Lea jadi lebih baik. Ia memalingkan wajah, dan melihat Juna berjalan
mendekat sambil menenteng tas miliknya di satu tangan.
Lea baru saja ingin beranjak
dari sofa di ruang belakang. Bermaksud mencari salah satu pengurus rumah untuk
menanyakan letak loker. Tapi Juna sudah lebih dulu muncul dan membawakan
tasnya. Dan untuk itu, ia berterima kasih. Ia memang sedang malas
bersosialisasi dengan orang yang tak terlalu ia kenal. Setidaknya untuk hari
ini saja.
“Kenapa nggak cari aku ke
dapur?” tanyanya, meletakkan tas di pangkuan Lea. “Kita bisa ngobrol.”
Harum jeruk tercium oleh hidung
Lea ketika Juna mengambil tempat di sebelahnya. Ia memerhatikannya sekilas, dan
melihatnya sudah kelihatan lebih segar daripada sebelumnya. Sudah mandi
sepertinya, dan tidak lagi bau bumbu seperti tadi siang.
“Aku takut ganggu,” ujar Lea.
“Chef sibuk.”
“Nggak juga. Besok mungkin.
Tamu yang kami tunggu hari ini batal datang, dan dipastikan akan tiba besok.
Jadi, aku dari tadi cuma bereksperimen kecil saja dengan menu. Untuk besok.”
“Siapa yang mau datang?”
“Eiji Kuroi.”
“Siapa itu?”
“Bisa dibilang, wali dari
Shinji. Satu-satunya dari keluarganya yang tersisa.” Juna langsung terkekeh
begitu Lea membeliakkan mata. “Aku senang melihat tampangmu sekarang.”
“Jadi…, Shinji nggak punya
keluarga lagi selain Eiji?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Kok Chef kayanya nggak yakin?”
“Misterius keluarga Kuroi.
Nanti juga kamu tahu.” Juna menyeringai. “Sudah siap untuk pulang?” Ia bangkit.
Kedua mata Lea mengejap. “Chef
mau pulang sama aku lagi?”
“Kenapa aku merasa sepertinya
kamu keberatan?”
Lea tertawa. “Nggak. Aku cuma
nggak mau merepotkan.”
“Hm. Apa kamu ada ide gimana
caranya kamu pulang sekarang?”
Lea tersadar. Jarak antara
Black House dengan gerbangnya saja lumayan jauh. Belum lagi dari gerbang Black
House ke gerbang Board House. Dia bisa saja jalan kaki, tapi… kalau ada yang
bisa dia tumpangi, akan lebih baik. Menghemat waktu dan tenaga. Dan Juna adalah
akses satu-satunya. Tak ada yang lain.
“Oke.” Lea turut berdiri. “Aku
ikut Chef—untuk hari ini saja. Besok… aku bisa bawa kendaraan sendiri.”
Pikirannya melayang ke skuter Raenan. Berharap, Raenan mau meminjamkannya lagi
selama beberapa hari. Beberapa minggu mungkin, atau sebulan.
“Nggak apa, kalau kamu mau
bareng sama aku—”
Lea buru-buru menggeleng. “No. Aku sudah terbiasa mandiri—please,
jangan tersinggung,” tambahnya buru-buru melihat kerutan di dahi Juna. “Aku
benar-benar nggak mau merepotkan Chef.”
“I don’t feel that way,” balas Juna. “Tapi, kalau kamu memang mau
begitu, ya sudah. But, if you need me…”
“I’ll let you know,” kata Lea ditemani senyum.
Juna mengangguk-angguk. “Ayo,” ajaknya kemudian.
Lea kembali melengkungkan bibirnya.
Berjalan berdampingan dengan Juna menuju pintu teras belakang.
“Siapa yang masak untuk makan
malam?”
“Staf dapur. Tenang saja, nggak
akan ada yang kelaparan di Black House,” jawab Juna santai.
Tak terasa, mereka berdua sudah
berada di atas motor lagi seperti tadi pagi. Kembali menyusur jalan tersembunyi
di sisi kanan Black House, melewati gerbang dan akhirnya keluar dari komplek
Board House.
Kali ini Lea lebih santai.
Tidak lagi cemas seperti tadi pagi. Mungkin karena Juna kali ini mengendarai Ducatinya
dengan kecepatan yang terbilang normal, sehingga Lea tidak begitu merasa ngeri.
Atau mungkin karena Lea telah merasa lebih nyaman sekarang untuk berdekatan
dengan Juna dibandingkan sebelumnya—entahlah. Walaupun begitu, tetap saja Lea
tak bisa mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan menuju rumah. Ia
diam. Tak mau mengganggu Juna yang berkonsentrasi menyetir.
“Thanks, Chef,” ucap Lea, ketika motor Juna akhirnya berhenti di
depan teras rumah Lea, dan ia memijakkan kakinya di halaman. “Udah nganter
sampai rumah lagi.” Ia menyodorkan helm kembali pada Juna.
“My pleasure, Lea.” Juna menggantung helm yang Lea kenakan di salah
satu stang motor, kemudian menarik lepas helm yang ia pakai dari kepalanya. “Kakak
kamu udah pulang?”
Lea menengok sejenak ke arah
teras yang telah terang oleh lampu. Mina jelas sudah ada di dalam, dan mungkin
sedang mengintip mereka berdua. Memikirkan hal tersebut, Lea berharap Juna
segera pamit. Dia malas dibombardir pertanyaan konyol oleh Mina.
“Sepertinya sudah.” Lea
nyengir.
“Nice home.” Juna memandang sekeliling. “Sangat… rumah.”
“Ya. Home sweet home.”
“Your grey eyes,” gumam Juna kemudian. Tersenyum. “It’s beautiful. Bahkan di cahaya temaram
begini, it’s so bright.”
Lea menganga. Menelan ludah,
sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ada apa ini?
“Apa Shinji nggak heran melihat
mata kamu, Lea? Warna matanya sama dengan warna mata kamu.”
Lea tidak tahu menjawab apa.
Shinji memang kelihatan bingung tadi siang. Tapi ia tak tahu kenapa ia bingung
karena setelah itu ia langsung berteriak pada Dai dan mengatakan kalau ia
menolak Lea untuk menjadi Yuujin-nya. Dan tidak mungkin kalau alasannya hanya karena
Lea punya bola mata yang sama dengan matanya.
“Hm… Sedikit mungkin.”
Juna mendengus. “Kamu akan
baik-baik saja.”
“I hope so.”
“So… Good night then.” Juna mengenakan helmnya lagi. “Istirahat.”
“Chef juga.”
“Oh,” keluh Juna. “Sampai kapan
aku harus mendengar kamu nyebut aku ‘Chef’? Kedengaran seperti sindiran di
telingaku.”
Lea terkekeh. Sedangkan Juna
menghidupkan motor.
Setelah ia mengucapkan ‘bye’ yang dibalas Lea dengan lambaian
cepat, ia pun berlalu. Menghilang dalam sekejap di kegelapan malam ditemani
derum Ducati-nya yang memecah sunyi.
Lea tidak langsung masuk ke
dalam rumah. Berdiri diam dengan tasnya menggantung di kedua tangan,
mengingat-ingat kata-kata Juna beberapa saat tadi, kalau mata abu-abunya
cantik. Dan bodohnya tersipu sendiri kemudian.
…
Walaupun Mina yang amat sangat
penasaran mendesak untuk menceritakan hari pertamanya bekerja di Black House,
Lea tetap fokus pada janjinya secara lisan pada Dai untuk tutup mulut perihal
apa pun yang berkaitan dengan Black House dan nama besar Kuroi, termasuk
kontrak kerjanya. Walaupun berkas-berkas tersebut tersimpan rapi di dalam map
di tasnya, ia tidak terpikir sama sekali untuk menunjukkannya pada Mina.
Sempat ingin memberitahu Mina
besar gaji yang akan diterimanya setiap bulan—oh, dia benar-benar ingin melihat
reaksi Mina, tapi urung. Berpikir akan lebih baik kalau Mina tidak tahu
apa-apa. Tidak mau kakaknya itu mendapatkan kesulitan karena hal kecil yang tak
seharusnya ia lakukan. Keluarga Kuroi jelas bukan keluarga sembarangan. Dan
sikap Dai yang semakin lama terkesan misterius dan hati-hati membuat Lea
memilih untuk cari aman. Tidak mau buat masalah.
“Kenapa kesannya kamu merahasiakan
pekerjaanmu, Lea?” tanya Mina keesokan pagi, ketika mereka berdua berada di
ruang makan untuk sarapan.
Dia sepertinya kesal karena Lea
sama sekali tak mau memberitahunya soal pekerjaannya di perusahaan barunya.
“Aku cuma nggak mau
membicarakannya. Itu saja,” jawab Lea, berusaha setenang mungkin. “Lagipula,
dari dulu aku juga nggak pernah cerita sama Kakak soal pekerjaanku.” Untuk
ketertutupannya itu ia bersyukur.
“Aku tahu,” Mina menaikkan satu
pundaknya sejenak. “Tapi, sekarang aku mau kamu cerita. Apalagi ada Chef Juna
di sana.”
“Jadi Kakak mau tahu karena ada
Chef Juna?”
“Bukan,” Mina menggeleng panik.
“Aku hanya… tertarik mendengar apa saja yang kamu lakukan. Bekerja dengan…
orang terkenal bukannya sesuatu yang menarik untuk… di ceritakan? Bukannya,
biasanya begitu? Pasti… itu jadi suatu kesenangan sendiri kan?”
Lea menggeleng pelan dan
menyipitkan mata. Menyeruput tehnya pelan.
Tumben dia melihat Mina seperti
ini: penasaran dan KEPO—Knowing Every
Particular Object. Dan baginya itu aneh. Kakaknya itu lebih cocok jadi
orang yang cool daripada kepingin tahu urusan orang.
Ketukan di pintu menyelamatkan
Lea dari kewajiban menjawab pertanyaan Mina. Ia menduga kalau itu adalah Raenan
yang mengantarkan kunci skuter sekaligus minta sarapan gratis seperti kemarin.
Sebagai ganti skuternya
dipinjam dalam waktu yang tak terbatas oleh Lea, Raenan memintanya untuk
membuatkan sarapan setiap harinya. Harus dibawakan ke rumahnya, dan disiapkan
sendiri olehnya. Lea tak masalah. Toh, sekarang, malah Raenan sendiri yang
datang ke rumahnya. Sepertinya sudah kelaparan.
“Kak. Kakak yang buka pintu
ya?” pintanya pada Mina yang sedang meneguk kopi di cangkir yang ia pegang.
“Itu pasti Raenan, aku mau siapkan sarapan buat dia dulu.”
Alis Mina mengernyit. “Apa dia
akan sarapan pagi di sini terus?”
“Sepertinya begitu.” Lea
bangkit dari kursi, dan berjalan memutari meja makan menuju dapur. “Selama aku
pinjem skuternya.”
Mina cuma ber-hm dan memutar
mata ke atas. Kemudian melangkah santai meninggalkan ruangan dengan sepatunya
yang berkeletak-keletok, sementara Lea mulai menyendokkan sup jagung yang ia
buat dari panci di atas kompor ke mangkuk untuk makan pagi Raenan.
Tapi kegiatannya itu terganggu
ketika Mina kembali muncul dengan langkah panik persis seperti kemarin, juga
dengan ekspresi kaget yang sama. Mengatakan pada Lea dengan bingung, kalau ada
laki-laki yang mencarinya di luar untuk menjemputnya.
“Bukan Juna,” sanggahnya ketika
Lea baru saja akan menanyakan kalau laki-laki itu adalah Juna. “Orang lain. Handsome.”
Dai?
Tapi Mina jelas tahu wajah Dai. Kalau begitu siapa?
Lea bergegas meninggalkan dapur
dan melesat ke ruang depan. Mina mengikuti dengan sama tergesanya,
sampai-sampai ia harus melepas sepatu haknya. Begitu melewati pintu depan, ia
menemukan seorang laki-laki jangkung mengenakan setelan hitam berdiri
membelakanginya. Ketika laki-laki itu akhirnya menoleh, barulah Lea mengenali
wajahnya. Dia Arata. Laki-laki yang beberapa waktu lalu menjemput Dai di
trotoar. Lea tidak akan pernah lupa wajah cute-nya
itu.
“Pagi, Nona Lea,” sapanya
ramah. “Saya Arata.”
“Pagi, Arata,” balas Lea, agak
grogi. “Ada apa?”
“Saya menjemput Nona untuk
berangkat kerja.”
Syok sebenarnya Lea
mendengarnya, karena dia sama sekali tak mengira kalau Arata datang untuk
menjemputnya. Namun karena saking syoknya juga, ia tak lagi bisa mengatakan
atau menanyakan apa-apa padanya selain, “Oh. Oke. Saya ambil tas dulu,” dan
setengah berlari masuk ke rumah untuk menyambar barang-barangnya.
“Oh, Kak, jangan mulai lagi,”
kata Lea putus asa waktu Mina menghampirinya dengan mulut setengah terbuka
untuk bertanya.
“Apa kamu nggak bisa cerita
sama aku apa pun tentang pekerjaan kamu, Lea?” tuntutnya. “Kemarin Juna,
sekarang…” Ia kehabisan kata, diam sejenak, sementara Lea yang telah menenteng
tasnya di satu tangan mengenakan sepatu kanvasnya dengan cepat, dan
menggerakkan kakinya lagi ke ruang depan. “Dan… kamu dijemput dengan mobil
yang—Oh, ini sangat membingungkan! Sebenarnya sama siapa kamu kerja? Kenapa harus serba misterius? Sepertinya saja
kamu kerja jadi agen rahasia atau mata-mata”—Mina jelas sudah hilang
akal—“sehingga harus merahasiakan apa pun. Aku nggak mau kamu kena masalah,
Lea.”
“Kak,” Lea berbalik menghadap
Mina dan menatap matanya lekat-lekat. “Aku bukan agen rahasia atau pun
mata-mata,” tegasnya. “Aku cuma… pengasuh, seperti aku bilang pertama kali sama
Kakak. Aku tidak ingin kasih tahu Kakak, karena pekerjaanku sungguh
membosankan. Nggak menarik sama sekali. Kakak pasti tahu, apa aja pekerjaan
seorang pengasuh kan? Bagiku itu hal yang menyebalkan untuk diceritakan pada
orang lain.”
Good
lie, Lea.
“Majikanku kaya, dan jelas
tertutup. Tapi mereka… oke. Dan aku ingin menjaga privasi mereka sebaik
mungkin. Kakak…, nggak perlu cemas. Aku nggak akan kena masalah. Andaikan ya,
aku sudah janji sama Kakak kalau aku akan resign segera. Baru satu hari aku
bekerja, so please…, beri aku
kesempatan.”
Mina diam. Cuma dadanya saja
yang naik-turun; mengendalikan emosinya yang sejenak tadi meninggi. Tak lama ia
melengos. Mengerling ke sisi lain, kemudian kembali ke Lea.
“Yah, aku agak paranoid memang,”
akunya. “Tapi kamu tahu kan kalau… itu karena aku… peduli sama kamu.”
“Aku tahu.”
“Dan… kamu… terlalu penuh
rahasia, Itu mencemaskan. And…
mendadak orang-orang yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya—Juna, dan… this guy, dengan jas hitam, mobil hitam…
muncul. Aku”—Mina bingung—“syok. Karena… hal seperti ini cuma ada di film-film,
sinetron, drama korea.”—Lea berusaha keras menyembunyikan tampang gelinya—“atau
di belahan dunia yang lain. So… aku perlu… adaptasi.”
“Aku ngerti,” kata Lea,
tersenyum. “Dan aku akui… this is
different; tempatku bekerja. Nggak sama dengan perusahaan lain, yang
mungkin aku atau Kakak pernah tahu. So…
just try to accept it. Please.”
Ia menatap Mina seolah memohon.
“Oke.” Mina menaikkan kedua
bahu. “Aku coba.”
“Harus.”
Kedua mata Mina berputar, dan
Lea tertawa.
“I love you,” ucap Lea. “You’re
the best sister in the world.”
“I know. And I love you, too.”
“Aku berangkat, ya.” Lea
mengecup pipi kanan Mina cepat, dan berpaling. “Kalau Raenan tanya soal
sarapannya, bilang aku sudah siapkan di dapur,” serunya, menghadap Mina lagi
selama beberapa saat.
“Ok. Hati-hati.”
Lea tak menyahut. Bergegas
melalui pintu dan menutupnya cepat.
[1]
Nama masakan Jepang sejenis
Sushi yang terbuat dari Ikan Sidat, yang bentuknya menyerupai belut namun lebih
besar dan lebih banyak dagingnya
(Bersambung)
![]() |
gambar dari sini |