Teja: Chapter 1 & 2
>> Saturday, December 28, 2013
PROLOG
AKU
berdiri tak seberapa jauh di hadapannya. Memandangnya menatapku dengan mata
besarnya yang tak lagi berjiwa.
Dia bukan lagi
dirinya. Sama sekali bukan. Aku benar-benar tidak mengenalnya.
Aku telah
gagal. Gagal melindunginya. Gagal melakukan hal yang seharusnya kulakukan untuk
menjaganya tetap di sisiku. Dan akibatnya, sekarang... aku harus menebus
kegagalan itu dengan mengakhiri hidupnya. Mengakhiri hidup seseorang yang
sangat kucintai, dan itu... menyakitkan.
1
Sang Téja
“KENAPA aku yang harus
melakukannya?”
“Karena itu hukumanmu.”
“Tapi aku pemimpin Soréngpati[1].
Aku Panglima Perang Mayangda. Kalau aku melakukan tugas itu, bagaimana dengan
pasukanku?”
“Tangguh akan menggantikanmu untuk
sementara...”
“Tangguh? Tapi—”
“Dia kan sahabatmu, jadi tidak usah
cemas dia akan merebut posisimu.”
“Bukan—”
“Kau harus melakukannya Séna! Kalau kau
menolaknya, para Tetua akan mengganti hukumanmu dengan hukuman paling berat
yang pernah ada, mengingat kesalahan fatal yang kau lakukan kemarin. Dan kau sendiri
tahu… apa hukuman paling berat yang akan mereka berikan.”
***
Aku
tak percaya aku mau melakukan ini, gerutuku sekali lagi
dalam hati. Menjalani hukuman seperti ini hanya karena melakukan hal paling
rasional yang kupilih demi hidupku, yaitu menolak menikah dengan putri salah
satu Tetua. Hal itu kulakukan karena aku memang belum mau berkeluarga. Aku
tidak suka bila suasana hatiku naik turun karena bertengkar dengan seorang
perempuan yang disebut istri, yang akan mengatur-ngatur hidupku seumur hidup (benar-benar
seumur hidup karena Tanu seperti kami tak bisa mati seperti manusia). Harga
diriku sebagai Panglima Perang tertinggi Mayangda bisa jatuh kalau aku diperintah
ini-itu, apalagi oleh perempuan. Dan sayangnya penolakanku itu dianggap
kesalahan fatal oleh para Tetua dan juga penduduk Mayangda, yang berujung
jatuhnya hukuman untukku. Sial.
Jadi aku harus turun ke Bumi (bukan hanya itu saja hukumannya, tentu
saja). Merubah semua
molekul tubuhku sepadat manusia, agar dapat berpenampilan seperti mereka. Dan
itu bukan hal yang menyenangkan sama sekali. Selain sakitnya luar biasa, menyamar
menjadi seorang manusia juga menjatuhkan harkat dan martabatku. Karena jujur
saja, aku tidak suka pada manusia, meskipun Yang di Atas sangat mencintai
mereka. Menurutku
manusia
itu makhluk manja dan tidak tahu diri. Sering sekali berbuat kesalahan,
meskipun sebenarnya tahu kalau perbuatan mereka salah, kemudian dengan
gampangnya memohon untuk dimaafkan. Dan seperti biasa, Yang Di Atas akan luluh
dan mengampuni mereka. Sungguh menyebalkan.
BRUG!
Aku terdorong ke samping. Seseorang baru
saja menyenggolku dengan keras. Aku mendongak buru-buru, mendelik galak pada
orang yang menyenggolku. Namun sepertinya orang itu tak menyadari perbuatannya.
Laki-laki itu tetap berdansa gila-gilaan seperti halnya orang-orang di dalam
ruangan ini. Dan mereka semua sepertinya tak memedulikan apa pun lagi kecuali
berdansa. Melonjak-lonjakan kaki mereka naik turun, menggoyangkan kepala ke
kiri dan kanan, tanpa terlihat lelah sedikit pun, padahal tubuh mereka sudah banjir
keringat. Akhirnya aku cuma mendesah, dan berpikir untuk tidak meluapkan
emosiku pada orang itu. Tak ada gunanya.
Aku kembali berjalan. Menyeruak
keramaian yang sangat padat di dalam kelab malam dimana aku sekarang berada. Mencari-cari
sosok yang harus kutemukan malam ini juga.
“Harus
malam itu. Saat bulan mengalami gerhana, kau sudah harus menemukannya.” Aku
teringat pesan Uma, Sang Ira atau Pelihat Takdir kepercayaan Mayangda, yang
juga adalah bibiku.
Karena ‘penglihatan’nyalah hukumanku itu
diberikan, yang menurutku bukan hukuman sama sekali, melainkan tugas
terselubung. Kenapa tugas terselubung? Karena apa yang sedang kulakukan ini,
memang tugas yang dilakukan sembunyi-sembunyi; tanpa sepengetahuan para Malaikat. Karena
kalau sampai mereka tahu ada Tanu yang turun dengan maksud ikut campur dalam kehidupan seorang
manusia, mereka akan luar biasa marah. Para Malaikat berkeyakinan bahwa tak ada yang lebih berhak mencampuri
urusan para manusia selain Tuhan Yang Kuasa, yang menciptakan mereka. Selain Dia, siapa pun, baik para Malaikat apalagi kaumku, tidak
punya hak untuk turut campur
urusan manusia. Tapi, toh sekarang sudah dilanggar. Dan sialnya, akulah yang terancam terkena
murka mereka; para Malaikat.
Sebenarnya itulah hukumanku; menanggung beban kesalahan para Tetua
apabila nantinya para Malaikat sampai tahu mengenai tugas ini.
Aku berhenti persis di tengah lantai
dansa. Terimpit di tengah orang-orang yang tampaknya semakin lama semakin gila.
Kepalaku bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari-cari. Dimana orang itu, aku bertanya dalam
hati. Uma bilang dia seharusnya berada di
sini. Dan kenapa juga aku tak bisa
melihat aura orang-orang di sekitarku?
Tentu
saja tidak bisa, sebuah suara terdengar di dalam
kepalaku. Suara Galuh, adik perempuanku, yang adalah Pratiwi—Ahli Bumi. Trinitra[2]mu
tidak berfungsi setelah kau berubah menjadi manusia. Matamu sekarang tidak sama
dengan Tanu. Bahkan semua kekuatan yang kau miliki selama di Mayangda sudah tak
ada lagi. Kau benar-benar manusia sekarang. Bila kau menginginkan semua
kekuatanmu kembali, kau harus pergi ke salah satu Bendu yang ada di Bumi.
Apa kau lupa?
Aku mengeluh. Aku benar-benar lupa
tentang itu. Bagaimana bisa hal sepenting itu luput dari ingatanku? Seharusnya aku turun
lebih awal untuk menemui Bendu demi
memulihkan kekuatanku, dan bukannya langsung berangkat ke tempat ini. Tanpa
kekuatan yang kumiliki, aku merasa hampa. Merasa mudah kena serang.
Aku
tahu,
balasku dengan nada kesal. Sudah, jangan ganggu
aku. Kau hanya akan menggangguku.
Jangan
konyol, timpal Galuh galak. Ini kali pertama kau turun ke Bumi, dan kau pasti butuh bantuanku untuk
menjelaskan banyak sekali hal yang tak kau ketahui. Kehidupan di Bumi itu
kompleks. Dan manusia itu rumit.
Kalau
kau terus mencampuri urusanku, kau akan membuatnya tambah rumit. Dan aku tidak
butuh bantuanmu.
Kau
keras kepala, Kak, Galuh kedengaran jengkel. Aku hanya ingin membantu.
Aku
tidak ingin kau bantu!
Terserah
kau saja. Kita lihat saja nanti, kau pasti akan meminta bantuanku.
Tidak
akan.
Ya
sudah. Aku tidak akan menolongmu lagi kalau begitu. Bahkan bila kau merengek padaku.
Yang
tampaknya akan mustahil sekali.
Sebelum
aku pergi, aku cuma mau memberitahu kalau Bendu terdekat yang bisa kau temui—
Oh,
pergilah! Kau menjengkelkan.
Setelah itu suara Galuh tak lagi
terdengar di kepalaku. Entahlah,
apakah dia pergi atau hanya diam dan masih memantauku; aku tak peduli. Yang
pasti aku tak ingin dia nimbrung di kepalaku. Aku tidak suka
bila ada yang memasuki benakku, karena mengganggu konsentrasi dan juga privasiku.
Tanu yang lain lebih senang bicara tanpa menggerakkan bibir mereka, tapi aku…
Buat apa ada mulut kalau begitu, kalau tidak digunakan? Dan lagi… aku tidak suka
dibantu dalam hal apa pun oleh siapa pun, bahkan keluargaku sendiri, terkecuali
Uma tentunya. Aku Panglima Perang Mayangda, yang memiliki Soréngpati berjumlah
lebih dari lima ribu pasukan, dan aku terbiasa menyelesaikan segala masalah
sendirian.
Tapi sekarang, yang menjadi masalah
adalah tanpa Trinitraku
aku tidak akan bisa melihat cahaya aura manusia di sekelilingku. Dan itu akan
membuatku sulit untuk menemukan orang yang harus kutemukan. Dan tidak akan
cukup waktu bagiku pergi ke tempat tinggal Bendu yang tadi disebutkan oleh
Galuh tanpa kekuatanku. Gerhana bulan akan terjadi sebentar lagi, jadi tidak
ada yang bisa kuperbuat selain mencarinya.
Aku berdecak kecil, kemudian mendesah. Kalau begini
aku tidak akan bisa menemukan orang itu. Bisa gawat. Jadi aku memutuskan untuk
menekan sedikit harga diriku, dan melakukan satu-satunya hal yang bisa
kulakukan. Memejamkan mata dan berkonsentrasi.
Aku
bilang juga apa, suara nyaring kecil segera saja
hinggap di telingaku, kau pasti butuh
bantuanku, lanjut Galuh segera, penuh kemenangan.
Bisakah
kau berhenti ngoceh dan lakukan tugasmu saja, tukasku.
Ini
bukan tugasku, balas Galuh. Ini bantuan untukmu. Kenapa sih, kau malu sekali mengakui kalau kau
butuh bantuan—(aku memutar mata ke atas). Apa kepalamu bisa mengempis kalau ada orang yang lebih cakap darimu
membantumu?
Aku bertahan mati-matian untuk tidak
murka pada Galuh. Berupaya untuk tidak mengusirnya lagi. Dari dulu dia memang
senang sekali berdebat denganku. Apalagi saat dia kembali dari Bumi dan lulus menjadi Pratiwi
dengan nilai tertinggi di antara rekan-rekannya yang lain, jiwa argumentasinya
meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi di luar itu, dia yang paling
perhatian padaku dan suka sekali membantu dalam banyak hal. Meskipun bantuannya
kadang terlalu berlebihan dan lebih sering kutolak daripada kuterima.
Tolong—aku
tampak putus asa sekali kedengarannya, kau temukan segera orang itu, kalau kau
memang benar-benar ingin menolongku.
Tak ada suara. Aku mengernyit. Bingung
sekaligus cemas kalau keheningan tiba-tiba itu pertanda bahwa Galuh pergi; tak
mau membantuku.
Aku baru saja akan memanggil nama Galuh,
untuk sekadar mengecek keberadaannya ketika mendadak dia kembali bersuara. Yang kau cari berada persis berada di bawah
lampu bundar di tengah lantai dansa, dia memberitahu. Dan kalau kau boleh kutambahkan, kau sebaiknya cepat, karena gerhana
akan terjadi sebentar lagi.
Kakiku segera bergerak menuju ke tengah
ruangan. Menghalau orang-orang yang menghalangi jalanku; tak peduli mereka
berteriak marah padaku—toh aku tak mendengar. Suara musik yang dimainkan
kelompok band di atas panggung jauh lebih keras dibandingkan suara orang-orang
itu—karena tersenggol dan terdorong olehku. Dan segera berada di tengah lantai
dansa; berhadapan dengan seorang…
Perempuan? Kau
pasti mempermainkanku, Galuh. Aku luar biasa kesal
padanya.
Bagaimana
kau bisa berpikir aku mempermainkanmu pada saat genting seperti ini?
balasnya sengit.
Dia
perempuan.
Dia
satu-satunya manusia di tempat itu yang memiliki sinar aura yang kau cari. Kalau
kau tidak percaya…
Diamlah!
Dasar
tidak tahu terima kasih!
Galuh diam lagi. Dia marah. Tapi tidak
ada waktu untuk merisaukan hal itu, ada hal penting di hadapanku sekarang yang
perlu dibereskan. Masalah adikku itu bisa kuurus belakangan.
Aku tidak
dapat melihat jelas wajah perempuan di depanku ini, karena lampu di dalam kelab
malam ini terlalu redup. Satu yang pasti, yang bisa kukatakan adalah tubuhnya tidak terlalu tinggi,
namun cukup. Sesuai dengan badannya yang kurus. Tidak seperti perempuan lain di
sini yang berpakaian sangat terbuka dengan make up mencolok, penampilannya
sederhana, hanya mengenakan kaus putih polos dan celana jins pendek.
Dia sedang bergoyang dengan sangat heboh
seperti orang-orang di sekelilingnya. Kepalanya dikibaskan ke kanan ke kiri,
membuat rambutnya yang panjang ikal berkibaran seperti cemeti mengayun. Matanya
terpejam, dan dia… menangis—menangis
dalam diam, maksudku, membuat
pipinya jadi berkilap oleh air mata. Sepertinya
suasana hatinya sedang tidak baik, pikirku. Dan tampaknya dia
sedang berupaya
melampiaskan emosinya dengan berdansa gila-gilaan seperti ini—tapi... perempuan? Lagi-lagi aku meragukannya.
Apa tidak salah?
Aku pikir Téja itu adalah laki-laki, mengingat kekuatan besar yang mereka
miliki,, yang secara rasional tidak akan muat di dalam tubuh seorang perempuan.
Tapi… aku harus memercayai Galuh. Dia
tidak mungkin bercanda pada situasi seperti ini.
Tanpa berpikir apa pun lagi, aku
menyambar lengan perempuan itu. Dia
sangat kaget; matanya membuka.
Selama sepersekian detik kami bertatapan. Dia dengan tatapan terkejut bercampur
bingung, sedang aku... aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku saat
menatapnya. Pikiranku penuh dengan kata: aku harus membawanya pergi dari sini
secepatnya. Aku segera berpaling, menarik perempuan itu pergi.
Dia meronta, berusaha melepaskan diri.
Menarik-narik tangannya dengan panik sambil berteriak-teriak. Tapi orang-orang
di sekitar kami terlalu mabuk dan
terlalu asyik dengan dirinya sendiri untuk mendengar atau menyadari
apa yang terjadi; tak satu pun peduli pada perempuan yang kuseret meninggalkan
lantai dansa. Lagipula aku lebih besar dan lebih kuat darinya, sehingga mustahil untuknya
meloloskan diri dari cengkramanku. Dia sudah kutemukan, sekarang tinggal
menemukan dimana Bendu—
“Aduh!” aku memekik kesakitan, tepat
pada saat kami berdua hampir mencapai pintu keluar. Pergelangan tangan kananku
mendadak sakit. Perempuan ini menggigitku, membuat cengkramanku di lengannya
terlepas. Dia kabur.
Aku lupa kalau aku sekarang berwujud
manusia yang rentan sakit. Bahkan karena gigitan kecil sekali pun. Padahal aku lebih banyak kena gigit binatang aneh
ketika ujian Bretya[3]ku di Mayangda, anehnya aku tak merasakan kesakitan luar
biasa seperti ini. Brengsek, umpatku.
Perempuan memang benar-benar menyusahkan.
Aku menyusul
perempuan itu buru-buru. Mengikuti arah kemana dia pergi..
Galuh,
aku mohon bantuanmu, pintaku bersungguh-sungguh. Harga
diriku sudah tak menjadi prioritasku lagi. Aku harus secepatnya menemukan
perempuan menyusahkan itu.
Kukira
kau tak butuh, Galuh mulai lagi. Saat-saat seperti
ini bisa-bisanya dia menyindirku seperti itu.
Aku
minta maaf, oke. Tolong, bantu aku sekali lagi. Dimana dia berada? “Oh, Tuhan…” gumamku.
Ngeri.
2
Gerhana
AKU sama
sekali tak menyadari kalau aku sudah berada di luar gedung kelab malam yang
tadi kumasuki. Berada di depan jalan raya padat yang sekarang begitu hening.
Semua orang yang berada di trotoar mau pun di atas kendaraannya sedang terpaku
menatap langit di atas, yang berangsur-angsur redup. Waktu seakan terhenti. Gerhana
bulan sudah dimulai. Bulan purnama yang bercahaya di angkasa sedikit demi
sedikit mulai tertutup oleh bayangan matahari.
“Galuh…” aku memanggil Galuh dalam suara
berbisik.
Dia
berada beberapa langkah di sebelah kananmu, kata Galuh cepat. Kedengaran cemas.
Aku
segera berlari ke arah kananku. Susah payah untuk tidak menabrak orang lain,
yang berdiri satu-satu, dua-dua atau bergerombol menyaksikan peristiwa alam
yang sedang terjadi di angkasa. Dan
kutemukan dia. Perempuan itu. Sama terpakunya dengan yang lain. Berdiri tegak, dengan kepala menengadah memandang langit.
Aku terkesima
menyaksikan sosoknya. Heran sendiri melihat pendar warna-warni samar dari
tubuhnya. Dia benar-benar Téja, aku
membatin. Tapi... aku dapat melihat auranya tanpa Nitraku.
Bagaimana...?
Séna, mereka akan tiba sebentar lagi. Kau harus segera membawa
Téja itu ke tempat aman, Galuh
memperingatkan.
Aku bergegas
menghampiri perempuan itu. Berharap penuh dia tidak menyadari kedatanganku.
Bisa gawat kalau dia kabur lagi. Tapi mendadak, ketika aku sudah berada
beberapa langkah di sebelahnya, perempuan itu menoleh. Tepat ketika angin kencang berembus, meniup rambutnya
yang panjang sepunggung ke belakang. Sekali lagi aku terpana. Dalam pencahayaan
remang lampu jalan, aku melihat jelas wajahnya. Dia cantik. Tak kuragukan. Dan
untuk ukuran manusia, kecantikannya sungguh tak wajar. Kesempurnaannya tak
dapat ditolerir. Penampilannya persis dengan para Malaikat. Namun matanya...
Bola matanya luar biasa hitam. Pekat. Kelam. Menyesatkan. Dengan warna merah
seperti cincin yang melingkari bagian luarnya. Persis mata mereka. Matanya yang besar itu mengejap padaku. Memberikan tatapan
yang tak kumengerti. Dia tak berusaha lari lagi sekarang. Diam di tempat, mengamatiku
berjalan mendekat, seolah menungguku.Tak ada tanda-tanda dia
akan melarikan diri kembali.
“Kau siapa?” dia bertanya, setelah aku berada tepat di hadapannya. Suaranya
agak bergetar. Sepertinya
dia memaksakan diri untuk bertanya.
“Tak ada waktu untuk menjelaskan,” kataku. “Kau harus ikut denganku.”
“Tadinya aku
takut padamu,” dia mengabaikan kata-kataku. Menatapku lekat-lekat. Aku
mengernyit. “Tapi sekarang... aku tidak takut lagi.”
Aku tidak tahu
harus menanggapi apa; harus senang dan mengucapkan terima kasih atau apa untuk
perkataannya barusan. Aku sama sekali tak mengerti apa tujuannya mengatakan
itu. Aku balas memandangnya, mengamatinya.
Baru saja
mulutku membuka untuk bicara, perempuan itu kembali berkata, “Aku percaya
padamu. Kau bukan orang jahat.”
Daguku terangkat sedikit. “Bagaimana kau
tahu?”
“Jantungku berdebar aneh ketika
melihatmu.”
Alasan yang sama sekali tak kumengerti.
Tapi aku tak berniat menanyakan maksud jawabannya itu. Hanya bisa menatapnya dengan mata disipitkan, sementara dia menyunggingkan
senyum samar padaku.
Kami
masih saling bertukar pandang ketika mendadak terdengar suara Galuh di kepalaku, kedengaran panik. Kak, kau harus segera pergi!
Aku buru-buru
mendongak ke atas, dan menemukan langit yang kelam tak bercahaya. Bulan telah ditelan
oleh bayang Matahari.
Mendadak seluruh lampu padam; baik lampu gedung, lampu jalan maupun lampu kendaraan.
Seluruh kota, bahkan mungkin Bumi, diliputi kegelapan
total. Disusul oleh
getaran keras dari bawah. Bumi bergejolak. Sesuatu sedang bergerak naik.
“GEMPA!” Orang-orang berteriak panik,
dan mulai berlarian menyelamatkan diri di tengah kegelapan malam.
Hanya aku yang tahu bahwa ini bukan
gempa. Memang ada yang bergerak di bawah, namun itu bukan gempa. Sesuatu yang
lebih membahayakan dari gempa sedang naik ke atas. Dan aku tidak bisa berdiam
diri saja sekarang. Secepatnya, aku harus membawa Téja ini pergi dari sini.
“Ayo.” Aku meraih tangan perempuan itu
buru-buru dan menariknya pergi. Dia tidak protes sama sekali. Tidak berusaha melepaskan diri
seperti tadi. Dia benar-benar
percaya padaku, seperti perkataannya beberapa waktu lalu. Mungkinkah karena
alasan jantungnya
berdebar aneh kala melihatku
(Konyol sekali), atau mungkin karena dia
merasa tidak punya pilihan lain selain menurutiku, karena merasakan cemas yang sama dengan
orang-orang yang berlarian di sekitar kami? Oh, aku tak peduli. Yang utama sekarang adalah membawanya
pergi sejauh mungkin dari sini. Ke tempat yang aman. Yang jauh dari jangkauan mereka.
Tapi jujur,
aku tidak tahu kemana aku harus pergi sekarang. Tanpa Nitraku aku tidak bisa
melihat apa pun yang kudefinisikan sebagai tempat aman. Dan tidak ada petunjuk
dari Uma, kemana aku harus membawa si Téja setelah aku menemukannya. Dan
bodohnya aku tidak bertanya. Aku terlalu marah ketika berangkat dari Mayangda,
sehingga melupakan hal-hal penting untuk ditanyakan. Dan Uma, dia tidak akan
memberitahu apa yang dipikirnya telah kuketahui.
Aku dan perempuan itu bersenggolan dengan
orang-orang yang berlari ketakutan ke segala arah. Beberapa kali tangan kami
hampir terlepas, sehingga aku mempererat cengkeramanku di tangannya. Perempuan
itu sama sekali tidak mengeluh. Sama sekali tak bersuara. Atau mungkin dia
bersuara, namun suaranya tertutupi oleh suara horor kepanikan; teriakan dari
berbagai arah, suara decit roda kendaraan yang saling tabrak, benda keras
bertubrukan, ditambah deru suara angin dingin yang menusuk dan suara gemuruh di
dasar Bumi yang semakin lama terdengar semakin keras.
Galuh,
panggilku putus asa. Tolong aku. Kemana
aku harus pergi?
Tak ada
jawaban.
Galuh. Sial.
Kemana kau saat aku benar-benar
membutuhkanmu.
Bumi semakin
berguncang. Kakiku dapat merasakan sesuatu di bawahnya mendesak-desak hendak
merobek permukaan. Badanku dan perempuan itu bergoyang ke kanan ke kiri tak
terkendali. Bisa beberapa saat dari
sekarang, pikirku. Mereka akan sampai
sebentar lagi.
Lari lurus ke depan, sebuah suara menyusup benakku. Berat dan dalam. Suara
laki-laki. Dan seberangi jalan, suruhnya.
Aku
bertanya-tanya suara siapakah gerangan, dan suara itu segera menjawab, Aku Bendu yang kau cari. Cepatlah. Gerhana
akan berakhir. Mereka hampir sampai. Hanya berjarak beberapa meter dari kalian.
Tak ada waktu
untuk menyelidiki apakah benar suara orang yang bicara di kepalaku benar-benar
suara Bendu yang disebutkan Galuh. Tapi dari nadanya, dia sepertinya bisa
dipercaya. Lagipula tak ada pilihan lain selain mengikuti sarannya, karena
Galuh tak juga menjawab panggilanku.
Kami sampai di
pertigaan jalan raya, dan kusempatkan diri mendongakkan kepala ke atas.
Bayangan matahari mulai beranjak dari hadapan Bulan. Aku kemudian menoleh ke
belakang, melihat sekilas perempuan itu. Mendengar napasnya yang tersengal
karena berlari. Selain itu tak satu suara pun yang keluar dari mulutnya.
Aku
mengajaknya menyeberangi jalan raya secepat yang kubisa. Bersusah payah
melewati kendaraan-kendaran yang melintang di tengahnya. Kendaraan-kendaraan
yang tiba-tiba saja mati ketika gerhana bulan dimulai.
Cepat, Séna. Suara pria itu kembali terdengar. Kali ini menyebutkan namaku. Aku
mengurungkan niat bertanya darimana dia mengetahui namaku, dan memilih untuk
kembali melihat ke arah langit. Ngeri sendiri, menyaksikan bulan purnama yang
sebentar lagi kembali ke wujud lengkapnya.
Kemana aku harus pergi?! Aku berteriak dalam hati, sambil berlari terus ke depan.
Kau ada dimana?
Terdengar
suara ledakan. BUM! Bumi seolah
melompat, menggoyangkan isi di dalamnya sehingga berhamburan ke segala arah. Semua
benda atau apa pun di sekeliling kami saling beradu; bertabrakan, berbenturan,
dengan suara keras yang mengerikan. Aku serta si Téja terlempar ke depan,
bersama dengan orang-orang lainnya yang berada di depan dan di belakang kami.
Tanganku dan perempuan itu terlepas. Aku terjerembab ke permukaan trotoar
dengan punggung terlebih dulu. Sakitnya tak terperi. Oh, aku benci tubuh manusia ini. Tapi tak ada waktu untuk menyesali
diri. Mereka sudah sampai dan aku harus segera membawa pergi si Téja itu sejauh
mungkin dari sini.
“Hei, cepat
bangun!” Tiba-tiba seseorang mengguncang badanku. Aku mengenali suaranya. Suara
orang yang mengaku adalah Bendu yang kucari. Aku memutar kepalaku, hendak
melihatnya. Namun kegelapan melarangku. Aku hanya dapat melihat sosok hitam
tubuhnya bergerak di atasku. “Mereka sudah sampai. Ayo, Séna,” dia berkata tak
sabar.
Orang itu kemudian
berpaling. Berjalan dengan kepala menunduk, menoleh kanan dan kiri
mencari-cari. Ketika dia menemukannya, dia berhenti dan bersimpuh di hadapan
sesosok tubuh.
Aku cepat-cepat
berdiri. Bergegas menghampirinya.
“Dia pingsan,”
pria itu memberitahu. Mengangkat punggung si Téja yang tergeletak di permukaan
trotoar. Tak bergerak. “Ayo, bantu aku.”
Pria itu berdiri
seraya melingkarkan salah satu tangan si Téja ke sekeliling lehernya,
mengangkatnya berdiri dengan susah payah. Aku membantunya. Turut melingkarkan
tangan yang satunya di sekeliling pundakku. Kami berdua memapah si Téja
bersama-sama.
Pria itu
menggerakkan kakinya dengan tergesa. Menyerukan kata ‘cepat’ yang kedengaran cemas,
sambil mendongakkan kepala ke atas. Ke arah langit yang telah kembali diterangi
cahaya.
Bulan purnama
telah kembali bersinar penuh. Dan lampu jalan, lampu gedung, lampu kendaraan—semua
lampu telah menyala lagi. Suara televisi, musik yang sejenak tadi dibungkam
paksa kini terdengar kembali. Mesin kendaraan menggerung dimana-mana. Kepanikan
yang tadi memenuhi seluruh jalan, berganti suara-suara orang berbicara cepat,
tangis anak kecil dan orang dewasa, suara orang saling memanggil dan
bersahutan. Semua sepertinya telah kembali normal. Normal dalam artian yang tak
enak.
Tak enak
karena suasana lebih terasa mencekam daripada sebelumnya. Belum lagi—aku
menyempatkan diri mengerling ke arah lain—dengan kembalinya seluruh cahaya yang
sesaat tadi hilang, semua kekacauan dan kehancuran akibat gempa dan goncangan
hebat barusan jadi terlihat jelas. Di seberang jalan, aku melihat tubuh-tubuh
bergelimpangan di atas trotoar; entah pingsan atau bisa juga mati—aku tak mau
menyimpulkan. Ada sebuah mobil mungil yang posisinya terbalik sembilan puluh
derajat, dengan bagian atapnya penyok karena menghantam tiang listrik. Masih
ada orang di dalamnya.
“Baru
permulaan sudah begini,” pria itu bergumam, lebih pada dirinya sendiri. Terus berjalan
dengan cepat.
Aku menoleh,
mengamati wajahnya. Usianya sepertinya tak jauh lebih tua dariku. Tingginya
juga sama. Hanya saja dia amat kurus. Tulang pipinya tampak amat menonjol,
seolah hendak mendesak keluar dari kulit wajahnya. Rambutnya yang ikal, panjang
setengkuk, berwarna abu-abu, yang membuatnya tampak lebih tua dari usianya
sebenarnya. Dia tampak sederhana, hanya mengenakan kaus hitam dan celana kain
yang juga hitam, yang sudah lepas jahitan bawahnya. Aku mengerling ke arah
leher belakangnya yang sedikit tertutup rambut. Dan segera yakin kalau dia memang
Bendu.
Kalau bisa
kujelaskan sedikit, Bendu adalah sebutan untuk Tanu yang terlahir sebagai
manusia. Tanu yang saat masih berada di Mayangda telah melakukan kesalahan
sangat fatal, sehingga dijatuhi hukuman berat dengan dilahirkan ke Bumi sebagai
manusia. Hidup layaknya manusia, dan mengabdikan hidupnya selama di Bumi untuk
membantu manusia, tanpa boleh mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun dari
mereka; semenderita apa pun hidupnya di Bumi.
Untuk kami,
para Tanu, hukuman tersebut adalah simbol kehancuran harga diri. Karena kami
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan semua kemampuan dan kekuatan yang kami
miliki khusus untuk melindungi Bumi dan seisinya. Membantu para Malaikat
melaksanakan tugas mereka. Dan dengan dijatuhi hukuman itu, sama saja dengan
menganggap kami tidak cakap untuk melakukan apa yang telah dipercayakan pada
kami. Kami, para Tanu yang memiliki kesempurnaan lima tingkat di atas manusia
dan lima tingkat di bawah para Malaikat jarang melakukan kesalahan. Tidak
pernah mendosa, baik kecil atau besar.
Mendadak laki-laki
itu berbelok. Masuk ke sebuah gang sempit yang lembap dan kotor. Sinar kuning
redup lampu neon yang menerangi di atas membuat tampilan gang ini jauh lebih
buruk dari yang sebenarnya. Bau manis menyengat yang berasal dari sampah yang
berceceran serta got kecil berair keruh yang isinya tumpah ruah ke permukaan
menambah ketaknyamanan orang melihatnya.
Sulit untuk
kami bergerak cepat melalui gang sempit ini. Tiga orang berjalan sejajar
seperti sekarang sungguh menyulitkan. Sehingga akhirnya aku berkata pada pria
itu, “Biar aku saja yang menggendongnya.”
Laki-laki itu tak mengatakan apa pun. Segera
melepaskan tangan si Téja dari sekeliling lehernya, memasrahkannya sepenuhnya
padaku, kemudian bergegas berjalan lagi tanpa menoleh sedikit pun. Aku
menggeser badanku ke depan secepat yang kubisa, menopangnya dengan punggungku,
dan mengangkatnya hati-hati. Lalu kulanjutkan menggerakkan kaki sambil menggendong
si Téja yang kepalanya terkulai lemah di pundakku. Suara napasnya menderu
lembut, dan embusannya di telingaku entah kenapa membuat jantungku berdegup
aneh.
[1]
Pasukan yang gagah berani (*bahasa sansekerta)
[2] Mata (bahasa
sansekerta)
[3]
Tentara (bahasa sansekerta)