A Lot Like Love (34)
>> Monday, November 12, 2012
Baca: A Lot Like Love (33)
Here and Back Again
NEELA, masih
bertanya-tanya, apa yang membuatnya jatuh tertidur kemarin sore. Yang dia ingat,
Arata mendekatinya, menempelkan jarinya di lehernya dan tahu-tahu dia sudah
tidak ingat apa-apa lagi. Sepertinya dia mendadak tak sadarkan diri tanpa tahu
apa penyebabnya. Dan saat dia mencoba menanyakannya pada Kenneth, jawaban
Kenneth cuma, “Itu karena obat tidur yang kau minum,” tanpa menatap matanya
sama sekali, dan itu bukan jawaban yang diharapkan olehnya.
Sekarang dia
termenung di kursi rodanya yang melaju pelan. Matanya menjelajah, namun
pikirannya terfokus pada hal-hal yang sejak kemarin memenuhi kepalanya. Shinji,
misalnya. Neela masih memikirkan hubungan orang bernama Shinji tersebut dengan
dirinya. Dan kenapa dia dikait-kaitkan dengan kematiannya. Lalu Kyouta, yang
disebut-sebut adik Dai. Benarkah dia membunuh Shinji itu?
Sungguh dia
ingin tahu. Benar-benar ingin tahu. Apalagi kalau dia terlibat atas semua itu.
Tapi…, apakah Eiji atau Kenneth mau mengatakan padanya? Kelihatannya mereka
enggan memberitahunya.
“Neela.”
Neela menarik
diri sejenak dari lamunan. Menolehkan wajah untuk memandang Eiji yang berjalan
di sebelahnya, mengimbangi kursi rodanya yang didorong pelan oleh Arata dari
belakang.
“Kau oke?”
tanya Eiji.
Neela
mengangguk, menyunggingkan senyum kecil pada Eiji. Setelah itu kembali menghadapkan
wajahnya ke depan.
Dia baru saja
menjalani CT Scan, untuk memeriksakan kondisi kepalanya yang sempat cidera
akibat kecelakaan beberapa bulan lalu. Menurut Dokter itu perlu dilakukan,
mengingat dia cukup terguncang oleh insiden tenggelamnya Dai beberapa hari
lalu.
Bagaimana keadaannya sekarang? Tanya Neela dalam hati. Apa dia sudah benar-benar
pulih? Kemana dia akan dipindahkan?
Neela
benar-benar merasa bersalah pada Dai. Tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri
bila Dai meninggal karena tenggelam hari itu. Andai saja dia tidak memprovokasi
Dai; berpura-pura percaya kalau dia tidak bisa berenang, hal itu pastinya tak
akan terjadi. Tapi… nyatanya, Dai memang tidak bisa berenang. Dia
membuktikannya. Tapi… untuk apa pembuktian itu? Apa tujuannya?
Dan
Kenneth..., untuk apa dia meyakinkan dirinya, kalau Kennethlah yang
dicintainya, bukannya dirinya?
Sungguh, Neela
dibuat bingung dengan semua ucapan Dai. Ditambah lagi pembicaraan Eiji dan
Kenneth kemarin. Dan dia tidak tahu bagaimana mengaitkan satu dengan lainnya
untuk menyimpulkannya menjadi satu kejelasan.
“Kau dapat
tamu hari ini,” kata Eiji, ketika mereka hampir mencapai pintu kamar Neela.
Neela ingin
bertanya ‘siapa’, tapi diurungkan karena Eiji telah memutar gagang pintu
membuka, dan masuk ke dalam kamar.
Suara-suara
menyeruak. Amat ramai. Kedengaran seperti lonjakan kegembiraan. Kedengaran
seperti reuni yang menyenangkan antar kerabat. Mengantarkan rasa hangat yang
menenangkan kepada Neela. Dan entah bagaimana, dia merasa hal ini pernah
terjadi. Pernah dirasakannya.
Arata
mendorong kursi rodanya melewati ambang pintu. Neela melihat beberapa orang
berkumpul di sisi lain kamar, dimana satu set sofa ditempatkan.
Wajah-wajah
itu…
Lea, dan
putranya—Hei. Dean sudah besar, suara
kecil di kepala Neela berkata riang. Bagaimana
aku tahu kalau namanya Dean? Neela kebingungan. Dia melihat satu laki-laki
lagi. Dia mungkin pernah melihatnya. Sepertinya. Juna, lagi-lagi suara kecil di kepalanya berkata, seolah
memberitahu. Dia suami Lea. Lalu, ada
Malini juga. Malini bersama…
Pemandangan seperti ini pernah aku lihat,
Neela mengingatkan dirinya sendiri.
“Hei, Neela.”
Neela tidak
tahu siapa yang menyapanya. Pandangan di depannya mengabur, dan kemudian
berganti dengan suasana lain. Malam hari. Malam hari yang sangat hangat dan
menyenangkan. Dia berdiri di ambang pintu beranda belakang rumah pantai. Suara
ombak yang berdebur terdengar jelas di telinganya. Angin menerobos, meniup
tubuhnya. Kemudian dia melihat Lea sedang menggendong Dean, yang baru saja
diambilnya dari Juna, suaminya. Tidak hanya dia yang ada di sana, tapi Eiji, Malini
dan Jose yang duduk mengelilingi meja yang sarat makanan. Dan juga… Shinji.
Shinji?
Laki-laki tampan itu memandanginya dengan tatapan tajamnya yang biasa. Namun
entah kenapa… sorotnya amat lembut.
Setelah itu ingatan
yang menyerupai film yang diputar cepat berkelebatan di mata Neela. Wajah
Shinji yang mengernyit…, kerlingan matanya yang …, suaranya yang berat
dan dingin…, punggungnya yang berkilap oleh air…, senyum samarnya yang
menyenangkan…, lalu…, datanglah kenangan itu, sosok Shinji yang terduduk
lunglai di atas kursi roda, disusul suara Lea, “Dia mengidap Demensia. Semacam kerusakan otak parah, yang
membuat pengidapnya akan hilang ingatan secara total dengan… perlahan, sampai
akhirnya lumpuh dan tak merespon…” Lea berkata dengan air mata yang
mengalir di pipinya.
“Dia
membantumu sepenuhnya, mulai dari perawatan wajah, tubuh, dan lain-lain yang
dia pikir akan membantu mendukung karirmu nanti. Dia mempertemukanmu dengan
Kenneth tanpa kau tahu sebelumnya, dan meminta semua yang tahu akan rencananya
itu, untuk merahasiakan darimu…”
“Aku mencintainya.” Neela
mendengar suaranya sendiri. “Aku sangat
mencintainya.”
“Kenapa kau jadi begitu sedihnya hanya karena
seseorang yang sudah tak ada lagi untuk memberimu kasih sayang, yang bahkan tidak
sekali pun pernah ditunjukkannya padamu?” Kini wajah Kenneth yang terlihat.
Begitu gusar dan amat marah.
“Demi Tuhan, kau itu GAY, Kenneth! Kau tak
selaki-laki dirinya untuk melakukan apa yang dia telah lakukan untukku!”
Dia melihat dirinya berteriak pada Kenneth.
Dan setelah
itu ingatan-ingatan lain tumpang tindih di benaknya, seperti sesuatu yang
dilempar bersamaan di depan mata. Dai…, Kenneth…, senyum Dai…, wajah Kenneth…,
wajah Eiji…, Malini…, Arata…, Chiyo…, dan…
Motor yang dikendarai Dai terempas oleh satu entakan.
Dan Neela merasakan tubuhnya melayang di udara. Kepalanya… dia merasakan
kepalanya terbentur keras. Dan itu sakit sekali. Luar biasa sakit. Dia akan
mati. Dia tahu itu.
“Kenneth…”
Namanya adalah kata terakhir yang terucap dari bibirnya. Sebelum dia
mata. Sebelum langit mengabur dari pandangan. Sebelum gelap menguasainya.
“NEELA!”
Neela mendengar suara Kenneth yang panik. Entah nyata,
atau bagian dari kenangannya, dia tak tahu. Kepalanya terlalu sakit untuk
berpikir.
“Ya Tuhan!
Tolong panggil Dokter!” Seseorang menjerit panik.
“Neela!”
“Neela!”
“Nee…”
Perlahan suara-suara itu menghilang. Berubah menjadi
gaung samar yang tak jelas, sampai akhirnya hanya kedengaran seperti dengingan
di telinganya.
…
Kenneth tak menyangka kalau kehadiran semua
sahabatnya, malah membuat Neela syok. Dia jadi amat merasa bersalah, dan
semalaman tercenung di luar kamar Neela, sementara gadis itu beristirahat di
atas tempat tidurnya.
Eiji yang berusaha menghibur Kenneth, menyerah. Karena
bagaimana pun usahanya untuk menenangkan Kenneth, tak membuahkan hasil. Lea,
Malini, bahkan Juna, juga berusaha, tapi tetap saja, Kenneth bergeming.
“Ken. Kenneth…”
Kenneth mengangkat kepalanya buru-buru. Menegakkan
badan perlahan, seraya mengusap-usap matanya yang terasa lengket. Dia
memaksakan diri memandang orang yang barusan memanggilnya, mendongak ke arah Lea
yang berdiri dengan punggung sedikit dibungkukkan dan tangan bersedekap.
“Ada apa, Lea?”
“Sori. Aku tahu kau capek…” Lea menegakkan badan,
mengeratkan cardigan wolnya. “Tapi…, Neela sudah bangun, dan dia menanyakanmu.”
Untuk beberapa saat Kenneth bengong, sepertinya
berusaha mencerna kalimat yang baru saja diucapkan Lea. Dan begitu dia sudah
menangkap maknanya, tanpa bicara lagi dia bangkit. Melesat menuju kamar perawatan.
Langkahnya tertahan sewaktu dia berada di depan pintu.
Ragu untuk mebukanya karena rasa bersalah yang belum sepenuhnya menguap. Ragu
untuk masuk ke dalam, dan melihat Neela masih terbaring lemah di peraduan. Tapi
kemudian, dia meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Mendorongnya membuka
dan masuk ke dalam kamar. Lea menyusul di belakangnya.
“Anda… harus istirahat dulu,” kata laki-laki berjas
putih yang berdiri di sebelah tempat tidur Neela. Dokter Ayung. “Tenangkan
diri. Karena pastinya… semua ini membuat Anda agak terguncang.”
Eiji yang berdiri hanya beberapa langkah dari Kenneth,
memalingkan wajah sekilas. Memberikan senyum dan anggukan kecil pada Kenneth.
“Secara fisik Anda sudah jauh lebih baik, tapi secara
mental, mungkin ada 1-2 hal yang perlu Anda selaraskan. Jadi sebaiknya…, sampai
Anda benar-benar siap, Anda tidak perlu meninggalkan rumah sakit dulu,” kata
Dokter Ayung lagi.
“Baik, Dok,” kata Neela dalam suara serak yang lemah.
“Kalau begitu, saya tinggal dulu. Suster akan mengecek
kondisi Anda setiap dua jam sekali. Dan—” Dokter Ayung memutar badannya, dan
berbicara pada Kenneth, Lea dan Eiji, “—kalau ada apa-apa, tolong segera
hubungi saya atau perawat di luar,” katanya lagi, diakhiri senyum.
Kenneth, Lea dan Eiji mengangguk bersamaan, dan
mengucapkan terima kasih yang juga hampir bersamaan pada Dokter Ayung.
“Saya pergi dulu,” Dokter Ayung pamit. “Nona Neela,
dan semuanya…”
“Saya antar, Dok,” Lea menawarkan diri buru-buru.
“Sekalian ada yang perlu saya tanyakan pada Dokter.” Dia mendului Dokter Ayung
menuju pintu, dan menariknya membuka. Mempersilakan Dokter Ayung keluar
terlebih dulu, baru menyusulnya pergi.
Tinggal Kenneth, Eiji dan Neela sekarang. Dan entah
kenapa situasi jadi terasa begitu canggung. Seakan ada yang merekat kedua
bibirnya dan melipat lidahnya, sehingga Kenneth tidak sanggup mengeluarkan
suara sama sekali. Kakinya juga, seakan saja terikat oleh sulur tak terlihat
yang menyeruak dari sela lantai keramik mengkilap di bawahnya. Dia… tak tahu
harus apa.
“Aku pergi dulu,” kata Eiji memecah kesunyian.
Kenneth mengernyit. Memasang tampang ‘tolong jangan
pergi’ pada Eiji yang telah berbalik.
“Jaga Neela.” Eiji tidak memedulikan ekspresi memohon
Kenneth. Bergegas ke arah pintu, dan menghilang dari baliknya.
Kenneth memandang pintu yang telah sampai
beberapa waktu setelah Eiji pergi, seakan saja Eiji akan muncul lagi. Dan
setelah dia yakin kalau takkan ada yang melalui pintu itu lagi, dengan amat
enggan dia menghadapkan wajahnya ke depan. Dan langsung bertemu pandang dengan
Neela, yang ternyata sedang memerhatikannya.
“Kenapa kau berdiri jauh begitu?” tanya Neela geli.
“Kau takut padaku?”
Kenenth mendengus geli. “Tentu saja tidak.” Dia
berjalan mendekat. “Aku cuma… takut mengganggumu,” katanya lagi, tersenyum menenangkan.
Meletakkan jari-jemarinya di tepian kasur Neela.
“Kau oke?” tanya Kenneth. Bahkan di telinganya kalimat
tersebut kedengaran begitu canggung. Tapi cuma itu yang bisa dia katakan saat
ini.
Neela memamerkan deretan giginya yang putih. “Lebih…
dari oke.”
Kenneth mengerutkan bibirnya. Mengangguk-angguk. Tidak
berani memandang mata Neela.
“Hei…” Neela menyentuh jari telunjuk Kenneth. “Kau…
oke?” Dia balas bertanya.
Kenneth tidak menjawab. Sentuhan Neela di jari
telunjuknya mengantarkan ledakan perasaan yang tak terkatakan di dalam dirinya.
Emosinya tak terkatakan. Dia tidak tahu apakah itu kesedihan, kemarahan, atau
kebahagiaan—atau semuanya, yang campur-aduk jadi satu.
“Ken?”
“Aku… tidak tahu… apakah aku baik-baik saja atau
tidak, Neela,” kata Kenneth tiba-tiba. Memberanikan diri menatap mata coklat
Neela lekat-lekat. “Kau… jatuh kemarin… dan… aku… Aku merasa… aku merasa… luar
biasa tolol. Aku sekali lagi… tidak bisa melindungimu. Kau… adalah amanat dari
banyak orang… Dari Shinji… Eiji, Lea… dan aku… tidak mampu untuk… menjagamu.”
“Bukankah… kau sudah menjagaku lebih dari seharusnya?”
tanya Neela. Menggenggam tangan Kenneth. “Bukankah… kau sudah melindungiku…
sejak lama, Kenneth? Bukankah kau… selama ini telah berkorban banyak untukku?”
Dahi Kenneth berkerut.
“Jangan… pernah menyalahkan dirimu karena aku… Aku
tidak berhak atas itu… Aku… bukan siapa-siapa.”
“Neela… Kau… Kenapa bicara begitu?” Kenneth memandang
Neela bimbang. “Jangan bicara seperti itu… Kau… penting untukku—untuk
semuanya.”
Neela memandang Kenneth dalam tatapan sayu yang
hening. Selama beberapa waktu tak mengucapkan apa pun sama sekali. Air mata
menggenang di tepian mata besarnya, siap meluncur turun kapan pun dia mau.
“Kau menangis…” kata Kenneth. “Tidak seharusnya kau
menangis.” Dia mengusap air mata Neela yang baru saja menetes ke pipinya.
“Dokter bilang… kau harus tenang. Jadi jangan menangis.”
“If you love me
so much… why didn’t you tell me directly?”
Kenneth mengerutkan keningnya lagi. Kaget, mendengar
Neela menanyakan hal tersebut.
“Kalau kau… memang menginginkanku… kenapa berpura-pura
menjadi gay, dan membuatku tidak bisa melihat dirimu?”
“Neela…?”
“Kenapa membiarkanku menghinamu? Kenapa…
membiarkanku…”—Air mata Neela jatuh lagi—“mengenang Shinji begitu jauh?”
Kenneth menutup mulutnya yang membuka dengan satu
tangan. Tidak bisa bersuara, karena suaranya tertahan oleh sesuatu yang keras
di kerongkongan.
“Kenapa… kau… mencintaiku… tapi meninggalkanku begitu
saja tanpa tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya padaku?”
“Neela…, kau…?”
“Aku ingat, Kenneth,” isak Neela. Menatap Kenneth
sedih. “Aku ingat semuanya… Aku ingat Shinji…, aku ingat kau…, aku ingat Eiji…
Aku ingat…”
“Ne—Neela…”
Kenneth duduk di tepi kasur Neela.
“Aku mencintai Shinji… tapi…, sudah seharusnya aku… tidak
berlarut-larut meratapinya. Sudah seharusnya aku,”—Neela mengangkat wajahnya,
memandang Kenneth, “melihat orang lain, yang telah begitu mencintaiku selama
ini.”
Kenneth menutup mata, dan bersamaan dengan itu
mengirimkan tetes air yang jernih ke pipinya yang pucat.
“Yang tanpa pernah mengeluh atau mengharapkan apa
pun…, selalu ada untukku,” sambung Neela lagi, sesenggukan. “Bahkan saat aku
tak bisa melakukan apa pun untuk diriku sendiri.”
Kenneth membuka mata, dan melihat Neela sedang
memandangnya dengan air mata yang semakin deras bercucuran. “Kau ingat...,”
kata Kenneth.
Neela menganggukkan kepala cepat. Tersenyum.
“Kau ingat,” ulang Kenneth lagi. Segera merengkuh
kepala Neela, dan mendekapnya erat penuh kerinduan. “Kau kembali, Neela.”
“I’m sorry,
Kenneth,” isak Neela, dari balik dada Kenneth. “Maaf aku membuatmu sedih. Maaf
aku… melupakanmu…”
“It’s okay. It’s
okay… Kau di sini sekarang. Dan semuanya akan baik-baik saja,” balas
Kenneth, masih memeluk Neela. “Tolong… jangan pergi lagi. Jangan…”
Keduanya terisak. Menangis dalam bahagia yang tak
terucapkan. Saling berpelukan seolah tak bisa dilepaskan lagi. Neela telah
kembali sekarang; utuh bersama semua kenangan yang tersimpan di memorinya. Dan
itu sudah cukup untuk Kenneth. Lebih dari cukup.
…
Tiga
bulan kemudian…
Tidak ada Shinji lagi sekarang yang memandang dalam
naungan gelap mata Neela yang terpejam. Tak ada senyumnya lagi, yang selalu
merekah, yang selalu Neela lihat di setiap pertunjukan yang digelarnya. Tak ada
lagi dirinya, dalam mimpi-mimpi malamnya yang senyap. Shinji telah pergi; bebas
tanpa Neela meratapinya.
“Kau harus
bahagia, Neela…” ucapnya saat itu. “Jangan
membuatku khawatir terus-menerus dengan terus menagisiku. Aku sangat
menyayangimu… dan aku ingin kau bahagia. Hidupmu adalah milikmu, bukan milikku.
Jadi… lupakan aku… dan mulailah hidup yang baru… tanpa diriku.”
Itu mimpi. Mimpi yang datang pada saat Neela masih
berada di rumah sakit. Mimpi yang seolah nyata dan dapat dirasakan oleh Neela.
Mimpi tentang Shinji yang datang dan duduk di sebelahnya di padang rumput hijau
yang amat luas, untuk mengucapkan selamat tinggal.
This
is for you, Shin, gumam Neela dalam hati, sebelum menggesekkan busur
biolanya.
Dan saat busur tersebut mulai bergerak di atas senar,
suara nada yang menyayat langsung terdengar. Menusuk hati. Merasuk ke jiwa
semua orang yang hadir dalam pertunjukkannya. Membuat mereka terdiam, dan mengawang
diiringi alunan musik yang merdu, berjudul ‘Kabhie Alvida Na Kehna’ sebuah instrumental
dari Original Sound Track film India Kabhi Alvida Na Kehna—Jangan pernah
mengucapkan selamat tinggal—yang sangat menyentuh.
Neela sengaja memilih lagu tersebut untuk
didedikasikannya pada Shinji. Laki-laki yang sangat dicintai dan dihormati
olehnya. Laki-laki, yang telah memberikannya hidup yang tak sekali pun ia
mimpikan akan menjadi miliknya. Mengantarnya pada kebahagiaan yang utuh. Menuntunnya
pada cinta tanpa syarat yang diberikan
oleh para sahabatnya, yang diberikannya cuma-cuma tanpa imbalan.
Tumko
bhi, hai khabar, mujhko bi hai pata
Kau dan aku tahu
Ho
raha, hai juda, donon ka, rasta
Bila jalan kita sekarang telah terpisah
Door
jake bi mujhse, tum meri yadon mein rehna
Kau akan selalu kukenang, meskipun kau telah pergi
Kabhi
alvida na kehna
Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal
“Dia mengalami
kerusakan otak parah akibat pukulan tongkat baseball Kyouta,” Juna
bercerita, dua bulan lalu, saat dia masih berada di Bali. “Koma, dan dinyatakan lumpuh total oleh Dokter. Sebelumnya…, sebelum dia
pergi ke pabrik tempat Kyouta menyekapku, dia mengirimkan email pada kami
semua, untuk tidak menceritakan apa pun padamu bila terjadi sesuatu padanya.
Untuk kebaikanmu dan juga Eiji, yang ditugaskan untuk menjagamu setelah dia tak
ada. Dia ingin kau tetap melihat Eiji seperti Eiji yang sebelumnya. Bukan Yakuza,
yang pastinya akan membuatmu ketakutan. Kami mengikuti permintaannya.
Mengatakan padamu, kalau Demensia yang membuat Shinji akhirnya meninggal. Walaupun
itu benar… tapi, jelas itu tetap suatu kebohongan. Karena bukan itu yang
membuatnya meninggal. Melainkan… pukulan tongkat itu.”
Ruth
a rahi hai, ruth jahi hai
Musim berganti
Dard
ka mausam badla nahin
Tapi musim yang menyakitkan tak berganti
Rang
ye gham ka, itna hai gehra
Warna penderitaan begitu dalam
Sadiyon
bhi hoga halka nahi
Takkan pudar sampai kapan pun
Kaun
jane kya hona hai
Tak ada siapa pun yang tahu apa yang akan terjadi
Humko
hai ab kya sehna
Dan apa lagi yang akan kita hadapi
Kabhi
Alvida na Kehna
Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal
© Kabhi Alvida Na Kehna OST
“Dai adalah
kakak Kyouta, tapi dia sangat jauh berbeda dengan Kyouta. Dia membantumu dengan
tulus, kendati pada akhirnya dia tidak bisa membedakan mana pertolongan dan
mana cinta. Kendati begitu…, dia laki-laki yang baik,” kata Kenneth. “Dia tidak pernah menyakitimu sedikit pun.
Dia… mencintaimu. Jangan membencinya karena itu.”
Neela membuka mata, saat dia akan memperdengarkan
lantunan terakhir dari musik yang dibawakannya. Melihat Kenneth yang menyaksikan
permainannya dengan senyum menenangkan di wajahnya. Melihat Lea, Juna, Eiji dan
Malini yang duduk di sebelahnya; teman-teman yang sangat dicintainya. Pengganti
Shinji, yang akan menemaninya melangkah di dunia. Membuatnya untuk tetap tegar
untuk menghadapi apa pun di depan sana.
Thank
you, Shin, dia membatin, seraya merengkuh pelan busur biolanya
di atas senar. Jangan pernah mengucapkan
selamat tinggal. We’re all love you.
(Bersambung)
![]() |
gambar dari sini |
What do you want from me now?
I love a girl whom in love with someone else and cant do anything about that. I'm so pathetic.
-Dai-
Ps.
2 chaps lagi.... \(^_^)/ *usap keringat*
5 comments:
Peluuuukkk mbak Litaaaa biar makin semangaaatt....Asik, berarti bakal ada another story buat Dai! *padahal yang ini aja belum abis* *ditimpuk yang ngarang* :p
Huaaa...seddih mba ^_^ dai, dai, dai, mdh2n chapter akhirnya happy ending yah, semangat
Ya ampun mb litaaa...kmn ajaaaaa...hehehe....srg ngecek blog mb lit demi lnjutan kenneth n neela.finally kluar jg.srmangat ya mb.tgl 2 lg.....n mksih bwt critanya slama ni.hehehe ^^d
lanjuttt mb ....
:) :) :)
#teamDai \m/
yeay! next chapt ditunggu ya mbaaaakkk ;)
Post a Comment