A Lot Like Love (23)
>> Sunday, April 29, 2012
Bizarre Love Triangle
RATUSAN blits
kamera berkelebatan menyerang Kenneth dan Neela yang baru saja melintasi ambang
gerbang kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta. Para wartawan dan juga
para penggemar adu teriak di sekeliling keduanya. Memanggil-manggil nama Neela
atau Kenneth, berharap keduanya mengarahkan pandang sekilas.
Neela
kelihatan sekali bingung—juga syok. Dia menunduk dalam-dalam, tak berani
mengangkat wajah sama sekali. Mendekap jaket jins hijaunya erat-erat sampai
buku-buku jarinya memucat, sementara kursi roda yang didudukinya melaju ke
depan, menyongsong kerumunan di depannya. Kenneth, yang menyadari kecemasannya,
berusaha mendorong kursi roda tersebut secepat yang ia bisa.
Untungnya
pihak keamanan Bandara sangat sigap dalam mengatasi kehebohan itu. Mereka
membantu Kenneth dan Neela menembus keramaian menuju mobil yang menjemput tanpa
halangan sama sekali; menghalau para wartawan yang berusaha mendekat, ketika
keduanya sedang berupaya memasuki mobil van perak di ujung teras lobi, sampai
akhirnya kendaraan tersebut berlari pergi.
Malini sudah
menghubungi pihak Bandara tentu saja. Juga Kenneth, yang sebelum berangkat ke
Jakarta telah mengirimkan surat permohonan dan juga menelpon langsung kepala
keamanan Bandara, yang menyanggupi permintaannya dengan senang hati. Dia telah
memprediksi keadaan seperti ini pasti akan terjadi, akibat minimnya informasi
mengenai kecelakaan Neela serta kondisinya semasa di Jepang hampir satu bulan
ini.
Dan sekarang,
keduanya kembali ke Jakarta, wartawan pasti telah amat bersiap-siap, begitu pun
penggemar Neela, yang sejak hari pertama ia kecelakaan sampai saat ini terus
menggaungkan kata penyemangat dan ucapan untuk Neela agar segera sembuh dengan
tidak putus-putusnya.
Sayangnya,
Neela yang sekarang tidak terlalu peduli dengan perhatian-perhatian semacam
itu. Di pikirannya hanya satu, memastikan kalau Dai masih hidup, tanpa kurang
suatu apa pun.
…
“Aku tinggal
di sini?” Neela memandang sekeliling ruang tengah rumah Kenneth. “Sejak kapan?”
Dia melempar pandang pada Kenneth yang baru kembali dari dapur, membawakannya
segelas air putih dingin, lengkap dengan pipet. Saraf tangan Neela agak
terganggu akibat kecelakaan sebulan lalu; gemetar apabila memegang benda apapun
dalam waktu yang lama.
“Sejak…”
Kenneth membantu Neela memegang gelas air putihnya, “lima tahun lalu… Setelah
kau pindah ke Jakarta, dan mulai serius di musik.”
“Dai?” tanya
Neela, setelah dia menyedot sedikit air putih menggunakan pipetnya. “Apa dia
ikut? Atau… dia tetap di Bali?”
Kenneth
menghela napas amat perlahan, berusaha keras membesarkan hati. Dia kesal
sekali—amat kesal, karena hanya Dai yang terus-terusan disebut oleh Neela
semenjak dia siuman sampai dengan sekarang. Ditangisi. Dicemaskan.
Kenneth tahu
benar, kalau Neela bingung, dan tidak benar-benar mengingat Dai selain nama dan
sosoknya; paham kalau Shinjilah yang sebenarnya diingatnya, namun, tetap saja
itu menyakiti hati Kenneth. Karena bagaimana pun, kedua laki-laki itu jelas
bukan dirinya. Dirinya, yang mencintai Neela, dan rela berada di sampingnya
dalam kondisi sulit seperti sekarang.
“Dai tinggal
di Bali.” Kenneth tersenyum menenangkan. Menjauhkan gelas air dari Neela, dan
meletakkannya di meja ruang tamu. “Apa kau ingat Eiji sekarang?”
Neela meringis
seperti orang yang amat kesakitan, dan menggeleng pelan. “Tidak,” katanya
lemah.
“Kalau kau
ingat Dai…, kau pasti ingat, kalau Eiji juga tinggal di rumah pantai itu.
Bersamanya.”
Dahi Neela
mengerut. “Aku tidak ingat kalau ada orang lain di rumah itu. Aku… tidak ingat
Eiji ada di sana. Aku… juga tidak ingat tinggal di sini bersamamu.” Neela
kembali melihat sekeliling. “Aku…” Neela menundukkan wajah menatap pangkuannya.
“tidak ingat apa pun tentangmu.”
Tangan Kenneth
mengusap rambut Neela dengan sayang. “Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja.”
Neela
mendongak menatap Kenneth, memejamkan mata sejenak untuk merasakan sentuhan
tangan Kenneth di pipi dan samping lehernya. “Kadang…” bibirnya menggumam,
“saat kau mengusap rambut, dan pipiku… aku merasa… aku sangat mengenalmu.”
Kenneth
mengembuskan napas seiring senyum terkulumnya. “Kau memang mengenalku,” Kenneth
membalas, “kau hanya tidak ingat.”
Setelah itu dia
menarik tangannya, berbalik, menyambar gelas air di meja, sambil berjalan
menuju dapur. Badannya bergetar, dan wajahnya luar biasa gundah. Semakin hari,
semua ini terasa amat berat untuk dijalani. Dan dia sama sekali tidak punya
petunjuk sampai kapan ini berlangsung.
Baru satu bulan, Kenneth menyemangati diri sendiri. Be beside her, and she’ll remember you.
Dan Kenneth benar-benar berharap Neela bisa mengingatnya lagi.
Neela memutar
kedua roda kursinya dengan kedua tangannya. Meluncur menghampiri Kenneth, yang
kini sedang mencuci gelas air yang tadi dipergunakan Neela untuk minum. “Di
mana kamarku?” dia bertanya, menghentikan kursi rodanya beberapa langkah di
sebelah Kenneth.
“Di sana.”
Kenneth menunjuk sekilas ke arah pintu kayu tertutup di seberang dapur. “Tapi…
semua barangmu berada di apartemen.” Dia meletakkan gelas di atas rak, kemudian
melap tangannya di serbet yang menggantung di pinggir meja konter.
“Apartemen?”
“Kau tidak
tinggal di sini lagi sejak beberapa bulan lalu,” beritahu Kenneth. “Kau tinggal
di apartemen Lea.”
Mulut Neela
menganga selama beberapa saat, sampai akhirnya dia berkata, “Lea? Lea yang…
menjengukku beberapa waktu lalu di Jepang?” Neela menatap Kenneth minta
konfirmasi.
“Ya. Lea yang
itu.”
Neela
menyipitkan sebelah matanya. “Bagaimana bisa aku tinggal di apartemennya?”
“Karena dia
sayang padamu…, jadi dia memberikannya untukmu. Lagipuls kau memang butuh
tempat tinggal,” jelas Kenneth.
Neela diam
lagi. Memandang Kenneth dengan pandangan penuh arti; berusaha mencerna
perkataannya. “Dia temanku… kalau begitu?”
Kenneth
mengangguk, menyunggingkan senyum suram yang samar. “Ya… Dia salah satu
temanmu.”
Neela
tersenyum, tampak senang. “Aku suka Lea,” katanya. “Dia… baik.”
“Dia memang
baik.”
Hening
setelahnya, karena Kenneth atau pun Neela bungkam, tak lagi berkata-kata.
Kenneth menelusupkan kedua tangannya ke saku samping celananya,menjelajah
sekitar dapur dan ruang tengah yang menyatu; memandangnya saksama seakan saja
dia sedang menginspeksi kebersihannya. Neela menunduk ke celana jinsnya. Asyik
dengan pikirannya.
“Jadi…”
Kenneth memulai pembicaraan, “apa kau mau tinggal bersamaku?”
Neela
menengadahkan wajah. Mengejapkan mata.
“Aku tahu…
kalau kau ingin bertemu Dai… Tapi…, dia—aku tak tahu kapan dia akan menemuimu,
tapi…”—kalimat Kenneth luar biasa belepotan—“aku dengan senang hati akan
merawatmu. Menjagamu.., setidaknya kalau… nanti ada apa-apa.”
“Aku lebih
senang bersamamu daripada dengan orang lain,” Neela buru-buru bicara. “Aku
merasa… cuma kau satu-satunya orang yang kutahu—yang… membuatku nyaman.”
Mulut Kenneth
membuka perlahan, namun tak satu pun kata terucap.
“Jadi… aku
yang seharusnya bertanya… apakah aku boleh tinggal bersamamu?” lanjut Neela,
meringis tersenyum. “Dengan kondisiku… aku pasti akan sangat menyusah—”
“Jangan
ngomong begitu,” tukas Kenneth, tersenyum simpul. “Kau tidak akan menyusahkan.
Kau akan segera sembuh… Kau akan main piano lagi. Main biola lagi… Dan aku akan
membantu, agar kau kembali pulih dan bermusik seperti dulu.”
Neela
menggigit bibirnya. “Tapi, Kenneth, apa aku bisa main biola atau piano lagi?”
tanyanya resah. “Aku… sepertinya—”
“Hei,” Kenneth
memotong, menatap Neela lekat-lekat, “jangan pesimis dulu. Musik adalah
hidupmu. Dan aku yakin, bagaimana pun sulitnya, kau akan mampu mengingatnya. Kau
akan bisa menatanya lagi.”
Neela kelihatan
terenyuh dengan kalimat yang barusan Kenneth ucapkan. Menggumamkan ‘terima
kasih’ yang hampir tanpa suara.
“Dan… tidak
usah cemaskan Dai,” kata Kenneth lagi. “Dia… sehat. Dan akan menemuimu…, kalau
dia sudah bisa menemuimu.”
Neela
mengangguk, tersenyum manis. “Aku tahu,” ujarnya.
Kau tidak tahu, Neela, gumam Kenneth dalam hati. Kau tidak tahu apa pun.
…
Suara-suara
teredam yang menggetarkan terdengar dari balik pintu ganda yang tertutup. Dua
orang di dalam ruangan tersebut sedang adu teriak; berdebat, mengenai suatu hal
yang hanya mereka yang tahu.
Di luar
beberapa orang menunggu. Duduk, dengan pose masing-masing yang mereka anggap
nyaman. Dai salah satunya, duduk dengan punggung membungkuk di sofa panjang
sendirian, sementara lima orang lainnya duduk di sofa lain mengelilingi. Kedua
tangan Dai tercakup, menutupi sebagian wajahnya yang cemas. Bahunya tegang,
dahinya berkerut, kakinya mengentak-entak pelan lantai di bawahnya.
Tiba-tiba
sebelah pintu ganda di depan ditarik membuka. Ibu Dai, Wina Tanaka, keluar dari
ruangan, dengan kepala masih berputar mengarah ke dalam ruangan tersebut.
Berteriak, “Kau tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu! Jadi
jangan sok tahu!”, kemudian berpaling, membanting pintu menutup, dan dengan
langkah tergesa menghampiri Dai. Semua laki-laki yang ada di sana—kecuali Dai,
segera bangkit berdiri untuk menghormatinya.
Alis Dai
berjingkat melihat wajah ibunya. Pipinya berkilap oleh sisa-sisa air mata.
Matanya merah dan sembap, namun tak ada gurat kesedihan sedikit pun di
wajahnya. Dia hendak berdiri, namun Wina dengan tegas berkata, “Tidak usah
bangun,” padanya. Dan meminta semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut,
meninggalkan mereka berdua saja, lalu duduk di samping Dai.
“Kau yakin
atas keputusanmu?” Wina bertanya pada Dai, ketika mereka sudah berdua saja di
ruang tamu itu. “Kau yakin… mau keluar dari O ushi?”
“Ya,” jawab
Dai mantap. “Aku yakin.”
“Kalau begitu,
pergi sekarang.”
Dai berjengit.
“Ma-maksud Ibu?”
“Pergi sekarang,
atau kau tidak akan bisa pergi lagi,” tegas Wina. “Ayahmu… tidak ingin kau
keluar dari O ushi. Tidak, setelah dia menganggap Eiji Kodame telah menghinanya
sewaktu di Jepang sebulan lalu. Menghinamu… karena telah mencelakai gadis itu;
Mengancam akan melukai Ibu kalau kau masih mendekatinya. Baginya… itu adalah
penghinaan; penginjakan martabat. Dan ayahmu ingin kau mempersiapkan diri. Merekrut
banyak orang; tidak hanya di sini, tapi di mana pun… untuk mengalahkan
organisasi milik Kodame. Dia ingin memperbesar O ushi.”
“Apa?” Dai
terheran-heran. “Bukankah sebelumnya Ayah yang ingin agar aku keluar dari O
ushi?”
“Ibu yang
menginginkan,” Wina meralat. “Ibu yang memintanya. Dan saat itu kau tidak mau
mundur sama sekali kan?”
Dai mendengus.
“Jadi
sekarang… pergilah. Ibu… dengan senang hati akan melepasmu pergi. Kehilanganmu
untuk sementara, lebih baik…, daripada kehilangan dirimu untuk selamanya. Ibu
tidak mau lagi… melihat mayat anak Ibu terbujur kaku di peti mati…” Ratap
tangis yang melolong, menyambung kata-kata Wina Tanaka, yang segera membungkukkan
tubuhnya, menutup wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya.
Dai segera
bergeser, dan memeluk ibunya erat. Mengusap-usap pundak dan punggungnya untuk
menenangkannya. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menghentikan tangisnya,
karena dia tahu benar, bahwa ibunya masih amat terpukul dengan kematian Kyouta,
dan dengan segenap kemampuannya berusaha keras menjaga agar dia—Dai, tidak mengalami
nasib yang sama dengan Kyouta.
Wina
menurunkan kedua tangannya, menyentuh pipi Dai dengan penuh kasih sayang.
Mengusapnya lembut. “Pergilah, Dai. Demi keselamatanmu…, dan juga
kebahagiaanmu. Lebih baik… kau berguna untuk seseorang atas dasar cinta dari
pada terus-terusan mendendam yang tak kunjung ada akhirnya. Hanya akan menyakiti
dirimu dan banyak orang.”
“Tapi, Ibu…
Ayah…”
“Tidak usah
khawatirkan ayahmu.” Wina menurunkan tangannya. Menghapus air mata dengan
telapak tangannya dalam gerakan anggun. “Kau lakukan apa yang harus kau
lakukan,” dia berkata pada Dai, memandangnya tajam. “dan Ibu berharap… kalau
gadis itu memang yang terbaik untukmu.”
Dai tersenyum.
Menggamit tangan ibunya, menggenggamnya erat, kemudian menciumnya lama. “Thanks, Mom,” ucapnya kemudian. “She is the one. I love her.”
Setelah itu,
Dai bangkit berdiri. Mengecup kening ibunya lama, sebelum akhirnya ia
berpaling. Pergi meninggalkan ruang tamu, dengan perasaan tak menentu. Sedih
karena meninggalkan ibunya, dan gembira karena dia, akhirnya akan kembali
bertemu Neela.
(Bersambung)
.........
"But my love for him still grows, when I see him my heart mourns. I cry when I think of us not to be, but my love for him is not hard to see."--by Stephanie Jacobs